Meninjau Kembali Makna Toleransi dalam Buku ‘Beragama : Bertoleransi’

 



Di tahun ini buku Beragama Bertoleransi (Milkhan, 2019) menjadi salah satu bacaan yang akan saya selesaikan kembali di penghujung tahun 2024 haha.

Awal terbitnya buku ini beriringan dengan kembalinya gencaran Islam moderat, seruan toleransi, dan peneguhan Islam rahmatan lil 'alamin dari kalangan orang-orang Islam. Dengan banyaknya kasus terorisme dan mencuatnya perdebatan-perdebatan yang terus menjalar, buku ini tepat dibaca untuk pemula seperti saya, karena hanya ada 98 halaman dengan ukuran 12 cm x 18 cm buku ini dapat mewakili segala tetek mbengek persoalan dalam hal beragama dan berpolitik.

Muhammad Milkhan membubuhkan sepuluh judul dalam bukunya; 1) Bekal Literasi Pergi ke Tanah Suci, 2) Azan di Zaman Modern, 3) Beragama dengan Telinga, 4) Dialog Senyap Lintas Iman, 5) Hadiah Membaca al-Qur’an, 6) Kota ‘Islam’ Kita, 7) Memantik Geliat Politik Umat, 8) NU: Kalah dan Dikalahkan, 9) Nahlatul Ulama, 10) Surakarta dan Panggung Pertunjukan Agama.

Dari kesepuluh judul tersebut saya akan membahas dua dari judul-judul tersebut. Selebihnya silakan beli dan baca sendiri xixixi.

Beragama dengan Telinga. Membicarakan tentang bertoleransi dengan telinga, kesalehan laku yang diharapkan bermula dari pendengaran ternyata minim hasilnya. Permasalahan ini sebab banyaknya ketergantungan tempat ibadah (masjid) terhadap keberadaan pengeras suara. Volume pengeras suara penting untuk dilipatgandakan dengan harapan jumlah jamaah akan mengalami hal yang sama. Meski harapan tersebut terkadang hanya menghadirkan kesia-sian, cara itu terus ditempuh agar umat semakin taat. (Hal. 24).

Kembali pada nasihat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengistilahkan Islam berpengeras suara tersebut hanya menampilkan suara lantang tanpa mampu membaca ketaatan secara lahir dan batin. Persoalan ini, menjuru pada perampasan hak orang lain seperti yang terjadi saat tarhim atau kegiatan Ibadah yang sedang berlangsung dengan menggunakan pengeras suara yang terlampau pantang. Seperti orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, perempuan haid yang tidak memiliki kewajiban salat. Mengapa mereka harus diganggu? Termasuk anak-anak yang belum akil baligh (Abdurramhan Wahid, 1999: 36-38).

Dewasa ini, Islam begitu bingar mengedarkan dakwah dengan berbagai cara, salah satunya yaitu menjadikan telinga sebagai alat untuk mendengar dengan baik. Mungkin tujuan hanya sampai itu saja, tidak dengan nurani dan akal budinya yang justru tuli. Banyak dari kalangan kita yang kesehariannya mendengarkan ceramah, lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an, penanaman nilai-nilai karakter, justru laku yang didapatkan bertolak belakang dengan apa yang diharapkan.

Kita hanya berdakwah sampai kerongkongan saja, memiliki harapan masyarakat dapat mendengar dan mengerti, akan tetapi kerap kali kita alpa pada Ikhlas yang tertinggal dalam menyebarkan dakwah. Seharusnya kita, tidak perlu marah jika pengeras suara tidak lagi menampilkan volume keras, atau suara dari masjid ke masjid yang terus bersaut-sautan tanpa memperhatikan seberapa sadar umat untuk beribadah di dalamnya.

Yang perlu diingat adalah kita hidup tidak hanya dengan masyarakat muslim saja, sedangkan berperilaku baik pada selain pemeluk Islam mutlak harus dilakukan. Banyak hak orang lain yang telah dirampas, sedangkan kegirangan dakwah jangan sampai membuat orang lain merasa tersudut dan terganggu. Berserulah dengan seru yang dapat dipertanggung jawabkan tidak perlu berlomba-lomba, berdakwah dengan cara rahmah. Bisa jadi kerasnya akal dan nurani kita disebabkan dengan bising dan pekiknya pengeras suara di sekitar kita.

Dua, Kota ‘Islam’ Kita. Dalam bukunya Muhammad Milkhan bercerita tentang undangan makan malam yang menjadikan ia tahu pengalaman Pak Joko setelah hidup puluhan tahun di Amerika Serikat. Pak Joko mengungkapkan bahwa ia kesulitan menemukan orang Islam di lingkungannya, akan tetapi ia menemukan kehidupan Islami Minnesota. Kenyamanan inilah yang membuat Pak Joko betah tinggal di sana. Hampir semua rumah di Minnesoto tidak memiliki pagar, halaman depan dan belakang yang bersih dan terawat, serta  mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan tanpa rasa was-was akan tindak kejahatan. (Hal.47).

Penulis mengajak kita untuk merenung, bagaimana dengan kota-kota yang ada di Indonesia, negara yang mayoritas beragama Islam, justru tidak pernah ditemui bentuk kenyamanan penghuninya dalam sebuah kota. Tata letak kota yang dibumbui dengan embel-embel Islami tidak menjamin masyarakat juga aman tentram untuk tinggal di dalamnya.

Tidak cukup jika hanya membangun beberapa peraturan tanpa menyembuhkan perilaku untuk sadar akan sebuah tindakan. Wajah kota idaman semakin jauh dari harapan, beberapa tindakan di luar moralitas sering kali terjadi di badan kota bahkan tingkat keamanan, kenyamanan, dan keselamatan warga tidak dapat dijamin seratus persen oleh pemangku kebijakan kota.

Masyarakat Indonesia yang terkenal ‘agamis’ ternyata belum mampu berperan aktif dalam proses pembangunan ke arah yang lebih baik. Kota sebagai representasi dari kemajuan sebuah bangsa. Terkesan masih jauh dari hasil yang patut kita banggakan kepada khalayak umum. (Hal. 49).  

Seiring dengan kegelisahan Milkhan, agenda keagamaan sering menggiring mengatasnamakan sebuah kota, tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi pada masyarakat. Dilihat dari awal saja kita sering menemukan pungli tukang parkir, dalam jarak 200 meter dengan lokasi saja pengunjung sudah dibelokkan ke lahan parkiran warga, tanpa memberi karcis dengan menarik dua kali lipat lebih tinggi daripada harga parkir biasanya. Tempat terlaksananya kegiatan-kegiatan keagamaan atau majelis-majelis yang mendatangkan ribuan jamaah itu pun juga tidak luput dari serangan sampah berserakan di mana-mana. Mungkin akan ada petugas yang membersihkannya, tetapi membangun kesadaran masyarakat akan menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan itu jauh lebih penting daripada memperbanyak petugas untuk membersihkan lapangan setiap acara telah usai.

Pemandangan kota ‘Islami’ yang diidam-idamkan akan lebih menarik, jika sekaligus mengislamkan perilaku masyarakat di dalamnya, mengatasi berbagai persoalan yang menyebabkan kurangnya kemaslahatan umat dengan cara beradab dan tidak merugikan kaum minoritas di dalamnya.  

Pembahasan yang diusung Milkhan dalam bukunya mengajak pembaca untuk terus berkaca, belajar, dan berkembang dalam menjalani tingkah laku sehari-hari dengan interaksi yang mengusung nilai-nilai toleransi. Banyak peristiwa di dalamnya yang membuat kita merenung, apa yang telah kita lakukan dan hingar bingar yang telah menjadi suatu kebiasaan, tidak menjadikan perilaku Islam tumbuh dalam laku, embel-embel ‘Islami’ bukan tampak casingnya saja, melainkan dapat memahami kepekaan antar manusia dan makhluk lainnya. Tidak ada yang direndahkan dan dipinggirkan, melalui buku ini mari bersama-sama kita menggali laku sesuai dengan nurani, mengerem berbagai persoalan yang terlihat justru hanyalah ego bukan niat laku yang sesungguhnya.

 

Judul Buku        : Beragama:Bertoleransi

Penulis               : Muhammad Milkhan

Tahun                : 2019

Penerbit            : Bilik Literasi

Jumlah Hal       : 98 hlmn         

Posting Komentar

0 Komentar