"Sungguh tradisi yang memalukan". Komentar penjaga museum terhadap perlakuan orang Arab kepada anak gadisnya.
Lagi-lagi eksistensi perempuan ditaruhkan. Detail Kecil
karya Adania Shibli, merupakan novel bahasa Arab yang diterjemahkan oleh Zulfah
Nur Alimah ke dalam bahasa Indonesia, ia menggabungkan dua narasi cerdas,
saling berkaitan, dan mencengkam tentang gadis Palestina dan tentara Israel.
Detail kecil, yang mulanya berjudul Tafshil Tsanawi menggaris
bawahi perlakukan minor yang diterima perempuan di Palestina. Mengapa penulis
menokohkan perempuan sebagai korban penindasan? Tidak dengan laki-laki? Padahal
di sana, baik laki-laki maupun perempuan semua menjadi rata, tersiksa dan
tertindas.
Sebelum menyelam bagaimana praktik mubadalah dapat
menelusuri satu persatu masalah yang terjadi, coba simak ulasan cerita di bawah
ini.
Pertama, narasi ini mengisahkan tentang perlakuan
pasukan tentara Israel terhadap gadis Badui yang mereka temukan di balik bukit
berpasir di sela-sela pohon zuriyat, pohon badam, dan tebu. Bersamaan dengan beberapa
unta, anjing dan sejumlah orang Arab yang terlebih dulu dibunuhnya. Suara
tembakan di balik bukit berpasir menyisakan gadis Badui yang meringkuk
ketakutan dengan tubuh yang hanya diselimuti beberapa helai baju kumuh. Bau
kotoran yang menyengat, diiringi isakan putus asa selepas dibungkam oleh komandan pasukan tentara Israel. Ia digiring bersama anjing menuju kamp tempat di mana mereka
tinggal selama bertugas. Suatu tempat yang didirikan untuk sebuah rencana
besar, rencana yang mereka rancang sebagai bentuk penaklukan sebuah wilayah.
Sedangkan gadis Badui yang suaranya tidak dapat didengar dan
dimengerti, menjadi praktik kekejaman pasukan tentara Israel terhadap tubuhnya.
Pelecehan, pemerkosaan, kekerasan, dan penindasan turut menyertai pada proses
pembunuhan. Ia memiliki nasib yang menyedihkan, seolah-olah pengarang ingin
mengungkapkan kondisi masyarakat Palestina di bawah jajahan Israel melalui
gadis Badui ini.
Narasi kedua, setengah abad selanjutnya, narator yang
ditokohi oleh gadis Palestina menceritakan bahwa dirinya sangat terbiasa
mendengar suara tembakan, bom meledak, dan gedung-gedung menjadi hancur berantakan.
Seakan-akan bayangan menjadi mayat turut menyertai di kehidupan mereka.
Melalui kisah dalam novel ini, gadis Palestina memberitahu
kepada publik bahwa ia hidup di bawah
tekanan Israel. Kebebasan hanya bisa diatur oleh diri sendiri dalam kapasitas
ruang mereka sendiri. Di luar, orang-orang Palestina selalu dirundu kecemasan,
banyak batasan dan aturan yang harus mereka perhatikan jika mereka tidak ingin
mendapat batunya. Artinya, mereka harus hidup sesuai batasan dengan pejuang
kehidupan lainnya, sebab suara tembakan akan bergantian atau bersamaan dengan
sirene patroli militer, deru helikopter dan pesawat tempur.
Dalam diri gadis Palestina meronta dan memberontak, merasa
tidak puas dengan apa-apa yang ia temui di luar, mempertanyakan apa yang
diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan, termasuk ketika ia mengamati
hal-hal kecil yang terjadi seperempat abad sebelum kelahirannya, tepat di mana
sang gadis Badui tengah diperkosa bergilir dan dibunuh oleh pasukan tentara
Israel. Dua peristiwa yang selalu berkaitan itu termuat dalam artikel koran
yang memberikan ruang penasaran lain, terdapat detail kecil yang justru tidak
diungkap dalam artikel koran di pagi itu.
Pemberontakkan, menghantarkan gadis Palestina menjadi
detektif amatir untuk menggali informasi tentang terbunuhnya gadis Badui
tersebut. Kepergiannya menuju Israel membuktikan bahwa ketimpangan yang dialami
orang Palestina begitu serius di bawah tekanan penjajah Israel.
Ia, seorang diri dengan cemas menelusuri jalanan Israel yang
dulu adalah bagian dari dari wilayah kebangsaaanya. Ia gadis Palestina yang
kebingungan dengan perubahan jalanan desa yang menjelma menjadi
bangunan-bangunan besar serta tembok-tembok yang kokoh. Jalanan yang luas dan
bercabang membuat ia membandingkan dua peta yang amat berbeda, peta yang
menggambarkan Palestina hingga tahun ke 1948 dan peta buatan Israel saat
ini.
Apa yang dilakukan gadis Palestina di wilayah Israel
tersebut membuat pembaca ikut cemas, seakan-akan di berbagai tempat, jalanan,
dan plang petunjuk arah terdapat mata yang tengah mengamati gerak-gerik gadis
tersebut. Nihil hasilnya, museum dan sistem pengarsipan Israel seakan-akan
menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi. Kejadian itu hanya digambarkan
secara umum, tidak dengan detail kecil yang belum ia temukan. Rasa penasarannya
tampak membuat pembaca kembali membuka mata bagaimana Palestina terhimpit
kesengsaraan dalam negaranya sendiri.
Pada narasi pertama, sudah sangat jelas kondisi perempuan dalam novel tersebut menceritakan bagaimana superioritas laki-laki menjadikan perempuan dinomorduakan dalam kemanusiaan. Martabat kemanusiaan perempuan menjadi terbelakang sebab praktik-praktik tersebut tidak jauh dari aturan sejarah kelaki-lakian dan tradisi yang menganggap bahwa perempuan menjadi inferior di bawah laki-laki.
Eksistensi perempuan dipertaruhkan, daya mutu perempuan diuji
dan mudah sekali dikesampingkan. Praktik demikian yang menghantarkan perempuan
rentan mendapat perlakuan diskriminasi, kekerasan, dan dikuasi oleh laki-laki. Koreksi
ini tidak hanya merujuk pada perlakuan tentara Israel terhadap gadis Badui
saja. Hal tersebut bisa saja terjadi dan dilakukan oleh siapa pun di luar dari
negara-negara tersebut.
Sementara itu dalam Islam menjunjung tinggi nilai kesalingan antar sesama, laki-laki kepada perempuan maupun perempuan terhadap laki-laki. Tidak boleh laki-laki menguasai perempuan sebaliknya perempuan menguasai laki-laki. Nilai kesalingan dalam perspektif mubadalah memandang relasi keduanya adalah kerjasama, bukan hegemoni yang berujung kekerasan.
Sikap merendehkan dan melecehkan
perempuan sebagaimana kisah yang ada pada kisah pertama adalah sebuah
perlakukan tidak manusiawi, kejadian tersebut ditimpali dengan pengakuan tokoh
seorang pria tua yang juga menyaksikan penemuan jasad gadis Badui yang dilempar
ke sumur saat mereka sedang melakukan patroli. Sebuah tradisi memalukan ketika
orang Arab mencurigai tindak tanduk anak gadisnya yang tidak sesuai dengan
aturan yang ada.
Berkaitan dengan narasi pertama, kisah kedua dalam novel ‘Detail
Kecil’ menggambarkan bagaimana perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek,
akan tetapi perempuan adalah manusia yang juga berhak untuk bebas atas apa yang
menjadi miliknya. Tokoh gadis Palestina ingin mengekspresikan bahwa ia bisa
menjadi subjek untuk mengobati segala kecemasan dan beribu-ribu pertanyaan
tentang suatu hal yang tidak boleh dipertanyakan. Ia menjadikan perjalanannya sebagai
bentuk perlawanan dari kontrol patriarki yang terjangkit dalam diri seorang perempuan.
Dengan itu, garis merahnya adalah kita sebagai manusia yang
memiliki akal seharusnya juga memfungsikan hati nurani dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari, dapat bermaslahat bagi publik juga menjalankan keadilan
sosial sekecil apa pun. Kemaslahatan yang harus memberikan dampak positif, tidak
terhadap laki-laki saja melainkan juga terhadap perempuan. Kemaslahatan yang dilihat
dari kacamata kemanusiaan bukan dari jenis kelamin.
Seperti yang telah ditegaskan. Faqih Abdul Kodir (2019:514)
dalam perspektif Mubadalah mengusung tiga prinsip dalam kemaslahatan publik;
pertama, memberikan perlindungan terhadap
orang-orang yang paling lemah, miskin, rentan, dan minoritas. Kedua, memastikan
prinsip keadilan dengan pertimbangan pada kondisi khusus kodrat perempuan yang
bisa menstruasi, hamil, dan melahirkan. Ketiga, prinsip partisipasi
dalam perumusan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan tersebut oleh para
perempuan dan kelompok-kelompok marginal, agar manfaat yang akan dirasakan dan
diterima mereka benar-benar nyata dan memenuhi kebutuhan asli mereka.
Sebagai manusia, tidak lain tugas kita adalah memanusiakan manusia, prinsip kemaslahatan di atas menjauhkan sikap superioritas yang mengajarkan kita untuk memihak orang-orang miskin, lemah, rentan mendapat penindasan, dan termarginalkan oleh kelompok yang menganggap kuasa atas segalanya, hal itu tidak lain sebagai implementasi dari praktik keadilan sosial.
Kekerasan dan penindasan harus kita hapuskan, terlebih jika pelakunya adalah laki-laki, tak lain laki-laki harus sadar dan mengakui bahwa tindakan tersebut tidak memberikan dampak positif bagi siapa pun. Jika laki-laki ada maka perempuan juga ada, jika laki-laki memiliki peran besar, maka perempuan pun juga bisa mewujudkan peran besar. Bukankah hidup ini saling melengkapi. Tidak bisa jalan sendirian tanpa memiliki kesalingan.
Terlebih juga pada perempuan. Suatu
ketimpangan yang terjadi tidak boleh dinormalisasikan dari pihak mana pun, oleh
karena itu melalui novel ‘Detail Kecil’ ini penulis mengajak pembaca untuk peka
terhadap hal-hal yang tidak disadari oleh orang lain. Detail kecil yang kehilangan
eksistensinya untuk bisa diungkapkan. Kejahatan yang tersembunyi dan bisa
dimaklumi oleh masyarakat sekitar tidak boleh dibiarkan saja.
Selamat membaca
0 Komentar