Data Buku
Judul : Dikuasai Kata-Kata: Kumpulan
Esai Bahasa
Penulis : Achmad San
Tahun : 2021
Penerbit : DIVA Press
Jumlah Halaman :
128 hlmn
Sesuai dengan judulnya “Dikuasai
Kata-Kata: Kumpulan Esai Bahasa”, buku ini mulanya hanya berbicara tentang kata,
dan selebihnya adalah problem begitu sinopsis mengawalinya.
Dengan gaya bahasa yang unik ringan
tapi peka terhadap penelusuran makna, buku ini membuat pembaca betah
berhubungan dengan kata-kata yang dikemas penulis. Menyandingkan tema-tema yang
lumayan berat untuk kalangan orang biasa, Achmad San membagi tiga bagian bahasa
pada bukunya: 1) Bahasa dan Politik, 2) Bahasa dan Masyarakat, 3) Bahasa dan
Gender. Dalam setiap bagian memuat tujuh sampai delapan judul esai yang
dijabarkan rerata menggunakan teori kritis di mana pencarian sebuah makna
dinukil mulai dari awal, bukan hanya sekedar menjawab “apa” dan “bagaimana”
akan tetapi juga menjawab “mengapa” dan “bagaimana” bahasa diproduksi dan
direproduksi.
Bahasa dan Politik :
Politik Bahasa dan Kritik Benedict
Anderson pada EYD, sebuah
ulasan tentang sejarah ejaan yang pernah terjadi di Indonesia. Achmad San menguraikan
tulisan Anderson tentang pergantian ejaan mulai dari Van Ophusyen,
Republik/Soewandi, hingga Ejaan yang Disempurnakan. Meskipun sejak tahun 2015
EYD sudah diganti menjadi PUEBI, pelaksanaannya pun masyarakat Indonesia masih
banyak yang menggunakan EYD, 55 tahun bersama EYD memang membawa pengaruh besar
bagi bangsa ini.
Anderson dikenal amat membenci
pedoman EYD yang dinyinyir sebagai ejaan Orde Baru. Dengan tulisan ini kita
akan dibuat mengerti bahwa ejaan yang diubah selain untuk memperbaiki bahasa
lebih karena ingin menghapus segala memori pendahulunya (Hal:24).
Awal mulanya bahasa Melayu Rendah
dipilih menjadi bahasa tulisan pada dekade 1880-an. Keturunan Tionghoa adalah
pihak pertama yang menggunakan bahasa Melayu Rendah. Bahasa ini mudah diterima
masyarakat kala itu, merasa khawatir dengan karya-karya kritis orang-orang
Tionghoa dapat mempengaruhi pola pikir rakyat Indonesia, Belanda, si penjajah
memberlakukan Van Ophusyen sebagai ejaan dengan menuliskan kata-kata
Melayu yang mudah dimengerti oleh bangsa Belanda. Pada ejaan ini dikenal dengan
bentuk jang, saja, itoe, goeroe, dan sebagainya.
M. Soewandi yang kala itu menjabat
sebagai Menteri Pendidikan dan kebudayaan, menjadikan ejaan ketiga ini
dinamakan ejaan Soewandi atau Republik. Soewandi menjadi ejaan pertama
yang di miliki bangsa Indonesia sekitar
dua tahun setelah merdeka, 17 Maret 1947. Ejaan ini dihentikan dengan
digantikannya EYD pasa masa Soeharto (1972) dengan dalih kata Anderson
‘EYD sebagai akal bulus Orde baru dalam rangka membutakan generasi muda dari
sejarah mereka sendiri’ (Hal:26).
Mari kita mulai dari ejaan Soewandi
terlebih dahulu. Pada ejaan Soewandi, 1) huruf “oe” pada ejaan sebelumnya
digantikan dengan huruf “u” : Goeroe menjadi guru. 2) Hamzah dan bunyi sentak
ditulis dengan huruf “k” : ta’, pa’ menjadi tak, pak. 3) Awalan dan kata di dan
ke ditulis serangkai dengan kata
yang mengikutinya. 4) Angka 2 untuk pemakaian kata ulang : anak2, jalan2, kebarat2an.
Berikut perbedaan ejaan Van Ophusye, Soewandi, dan EYD.
Ejaan
Van Ophusyen |
Ejaan
Republik (Ejaan Soewandi) |
Ejaan
yang Disempurnakan |
Choesoes |
Chusus |
khusus |
Djoem’at |
Djum’at |
Jumat |
Ja’ni |
Jakni |
Yakni |
Pajoeng |
Pajung |
Payung |
tjoetjoe |
Tjutju |
Cucu |
Soenji |
Sunji |
Sunyi |
Singkat saja, perubahan-perubahan
ejaan ini tidak lain melumpuhkan minat literasi anak bangsa terhadap sejarahnya
sendiri. Jujur saja, jika saya di hadapkan dengan pola kepenulisaan yang
menggunakan ejaan Soewandi, ke-jlimeetan dan rasa panas pada mata tampak
cepat hadir begitu saja. Sejarah yang digarap menggunakan ejaan Soewandi akan
terlihat sulit dibaca bagi anak-anak bangsa masa kini. Sedangkan tujuan daripada EYD? Ya sudahlah
bisa disimpulkan sendiri.
Judul esai pada bagaian ini antara
lain: Eufemisme Penguasa di Seputar Korona, Metafora dan Alat Perang Wacana,
Politik Bahasa dan Kritik Benedict Anderson pada EYD, Lelucon Mahfud MD yang
Unfaedah, Sapaan Kekerabatan yang Memikat Hati Rakyat, Memeriksa Idiolek
Presiden Kita, Media dan Diksi-diksi yang Berpihak.
Lanjut pada judul kedua bagian Bahasa dan Masyarakat.
Bahasa dan Masyarakat
1. Buya Syafii dan Kritik tanpa Tedeng Aling-aling,
Pada judul ini yang saya dapat tidak lain
adalah corak tutur orang Jawa yang sulit ditemukan pada sosok Buya Syafii. Hal ini
berkaitan dengan kritikan Buya Syafii yang selalu mengguakan bahasa yang lugas,
tegas, tanpa tedeng aling-aling yang bertolak belakang dengan istilah orang Jawa
‘semakin tersembunyi, semakin sopanlah pesan yang disampaikan’.
Seperti pada ihwal dakwah dan politik,
misalnya Buya Syafii menegaskan bahwa dua hal itu tidak boleh dibolak-balik. Teguran
Buya Syafii ditujukan kepada orang-orang yang menjadikan dakwah sebagai medium
untuk mencapai tujuan politik. “Bila ini berlaku,” kata Buya Syafii, “dapat
kita katakan bahwa politik telah ‘memerkosa’ agama demi tercapainnya tujuan-tujuan
yang rendah (Hal:66).
Pemilihan kata ‘memerkosa’ ini
dimaknai dengan ‘melanggar dengan kekerasan’. Agama harus memiliki derajat yang
lebih tinggi daripada politik. Penggunaan lema tersebut diakui berani, penyampaian
ini sangat tegas membentengi agama supaya tidak disalahgunakan dan
dicampuradukkan dengan unsur-unsur lain. Maka, jangan sekali-sekali menjadikan
agama dan dakwah untuk tujuan politik praktis.
Tidak kalah menantangnya terkait kritik
Buya Syafii kepada orator ulung Soekarno. Awalnya saya tidak percaya kritikan
tegas dan pedas itu disampaikan untuk Presiden pertama kita, dalam buku “Mencari
Autensitas dalam Dinamika Zaman”. Selagi orang-orang banyak yang memuji
heroiknya Soekarno dalam memperjuangkan bangsa Indonesia, Buya Syafii memiliki
pandangan yang tak lain Soekarno juga memiliki cela, seperti sistem pemerintahan
kala itu (1959-1966) yang disebut sebagai “demokrasi tanpa demokrasi”.
Kutipan pada buku Islam dan
Politik, Buya Syafii berkata “Kedua Presiden Indonesia (Soekarno dan
Soeharto) punya watak yang hamir sama: mabuk kekuasaan,” jelas sekali kritikan
tersebut jauh daripada corak orang Jawa pada umumnya yang bersifat tersirat,
tersembunyi, “Soekarnoisme sama sekali bukan jawaban untuk menyelamatkan masa depan
bangsa. Orla dan orba sama-sama berkesudahan dan malapetaka politik, ekonomi,
dan moral,” lanjut Buya. “…..risikonya hanya satu: kehancuran.”
Kritikan Buya Syafii memang cenderung
kasar, bagi kita yang terbiasa sembunyi-sembunyi dalam bertutur kata,
mengedepankan sopan dan menyembunyikan kesalahan-kesalahan. Dalam kritik, yang
dibutuhkan memang lugas dan tegas, biar semakin tajam.
2. Gugon Tuhon: Nasihat Ampuh Orang Tua terhadap Anak
Gugon tuhon, ekspresi bahasa yang
digunakan oleh masyarakat Jawa untuk memberikan pesan dan nasihat kepada
anak-cucu mereka.
Langsung saja yang paling fenomenal yang
saya ingat yakni sebuah nasihat yang berbunyi “Nak maem segone ditelasne,
mengko pitike mati” atau tidak..”Yen madhang aja sok nyisa, mundhak mati
pitike”. Dulu, saya sempat tidak terima dengan nasihat ini, seolah-olah
membawa pasukan ayam untuk dijadikan kambing hitam seorang anak untuk
menghabiskan makannya. Ayam tidak memiliki kesalahan apa-apa tapi harus
menanggung doa kematian. Akan tetapi, bagi kita pembaca yang belum kenal betul
dengan istilah atau simbol orang Jawa, sebaiknya memang harus segera mencari
tahu dan mempelajarinya, karena itu sudah pasti menjaga serta menjunjung etika maupun
moral. Sekali lagi etika dan moral.
Mengapa demikian?
Seperti gugon tuhon di atas, nilai yang
ingin ditekankan bukan perkara ayam, tapi kemubaziran jika kita makan tidak
sampai habis. Hal itu tentu saja sejalan dengan ajaran agama Islam. Etika seseorang
dalam memperlakukan makanan, dapat dilihat bagaimana cara ia makan, dan
bagaimana ia dapat mempertanggung jawabkan pilihannnya, salah satunya yakni tidak
menyisakan makanan yang telah ia pilih.
Achmad San memberikan contoh lain,
seperti: Cah wedok aja metu bengi-bengi, mengko mundak dicaplok buto. Aja lungguh
ning bantal, mengko mundhak udunen. Aja sok dhemen misuhi, ana kanane lambene
mundhak digunting malaikat.
Dalam gugon tuhon fokus saja
pada perintahnya dan jangan mempercayai akibatnya. Saya sepakat, dan sudah
merelakan ayam. Masyarakat Jawa melestarikan kesopanan salah satu caranya dengan
cara gugon tuhon sopan dan memiliki kasih sayang yang amat dalam.
Judul esai pada bagian ini antara lain:
Bahasa, Budaya dan Pola Sikap. Siap, Lapor, dan Perluasan Makna Bahasa
Militer. Buya Syafii dan Kritik tanpa tedeng Aling-aling. Majaz Mursal: Kiasan
yang Memperindah al-Qur’an. Tiga “Kata Sakti” dari Orang yang Rendah Hati. Gugon
Tuhon: Nasihat Ampuh Orang Tua terhadap Anak-Cucu. Logis Dahulu, Baik dab Benar
Kemudian.
Bahasa dan Gender
Bagian
yang paling saya tunggu, membahas tentang gender. Ada enam esai pada bagian
ini: Tentang Kamus yang Tak Ramah pada Perempuan. Perempuan Meminta Maaf,
Berkaca pada Kasus Kalistha. Alah Bisa Karena Biasa:Tentang Komentar Seksis
Sehari-hari. Dilema Bahasa Perempuan di Dunia Kerja: Agresif atau Kooperatif?.
Memangkas Gaya Komunikasi Birokratis ala Risma dan Susi. Wartawati, Seniwati,
Sastrawati, Santriwati, Bendahari.
1. Tentang Kamus yang Tak Ramah pada Perempuan, jika ingin mencari pembendaharaan kata ‘perempuan’ pada KBBI daring, terdapat lima belas untuk mengekspresikan sosok perempuan. Delapan memiliki makna buruk (nakal) dan sisanya bernilai baik. Pada delapan kata (nakal) yang disandangkan terhadap peran perempuan, rerata memiliki definisi yang sama. Belum lagi sebutan yang lain.
Begini Achmad San meneliti, sejauh ini sikap stereotip perempuan
lebih mudah dipersalahkan daripada laki-laki, sudah banyak dari kalangan
feminis yang mengkritik dan menggaungkan kesetaraan. Dalam hal ini, kamus kita
pun dianggap tak luput dari doktrin patriarki dan misogini: mengutamakan
laki-laki sekaligus “membenci” perempuan (Hal: 94).
Eko Endarmoko, Tesamoko (2016)
mengumpulkan senarai kata perempuan nakal: pelacur, sundal, Wanita tunasusila,
cabo, jobong, munci, perempuan jalang, lonte, gendok, gula-gula, istri gelap/piaraan,
nyai, selir, dan perempuan geladak.
Belum lagi dengan istilah ayam kampus, kiasan untuk
mahasiswi yang merangkap sebagai pelacur. Kalau mahasiswa yang melacur? Sejauh ini
saya belum menemukan kiasannya.
Sapaan perempuan nakal dalam KBBI seperti menggali lebih
dalam untuk bisa menemukan sebutan-sebutan perempuan yang melanggar aturan. Sedangkan
sebutan untuk laki-laki: Gigolo, Hidung Belang, dan Mata Keranjang. Itu
pun didefinisi dengan ramah, sedikit sopan tidak ceplas ceplos seperti KBBI
mendefinisikan perempuan nakal.
2. Alah
Bisa karena Biasa: Tentang Komentar Seksis Sehari-hari
Kapan kawin, Cewek harus bisa
masak, Cewek dilarang ngomong kasar, Cowok dilarang dandan, Cowok yang tidak
ngerokok seperti cewek.
Alah bisa karena biasa. Sebuah peribahasa, di mana kata
alah memiliki makna kalah, sedangkan bisa bukan dimaknai dapat, akan tetapi
sebagai racun (Hal 109). UU Suhardi, menjelaskan racun akan kalah atau hilang
kekuatannya ketika orang sudah terbiasa meminumnya. Hal ini berkaitan dengan
kebiasaan, jika kita melakukan perbuatan buruk, jika terus menerus dilakukan
tentu saja akan terbiasa dan tidak merasa bersalah, kebal, tidak takut dosa.
Dari Achmad San, setidaknya kita
kembali disadarkan bahwa melalui bahasa sebuah peristiwa yang tidak bisa untuk
diungkapkan dapat dijembatani menuju kepemahaman. Penulis tidak hanya sibuk
dengan teks, akan tetapi mencoba memahami dengan mengenal suatu kata. Achmad
San mencoba menelusuri kata dengan dalih membuka makna sebuah bahasa dengan
menyadarkan kita semua bahwa bahasa adalah kesepakatan dan pertemuan. Tidak
boleh didominasi satu pihak, penguasa sekalipun.
0 Komentar