Menjadi Debu Saja Kita Tidak Pantas

sumber: pinterest

 Bagi warga Kaliwungu Mbah Lurah memang terlihat aneh. Tak jarang ia ditemukan berseragam rapi sambil menggayuh sepeda selayaknya perangkat desa yang hendak berangkat kerja. Di hari lain, Mbah Lurah akan menyamakan pakaiannya dengan orang-orang yang suka ngamen di pinggiran kota. Selain suka bergonta-ganti gaya pakaian, keberadaan Mbah Lurah memang susah ditebak, hilang begitu saja dan kehadirannya tidak bisa diduga.

Mbah Lurah dulunya memiliki padepokan kecil yang dibuat untuk mulang anak-anak desa belajar ngaji. Keanehan perilaku Mbah Lurah menyebabkan para wali menarik anaknya untuk tidak ngaji di sana, hingga padepokan Mbah Lurah hanya tersisa beberapa murid saja, termasuk Saikun yang sampai saat ini masih sering mengunjungi Mbah Lurah.

"Nopo Mbah Lurah sudah gila?" Jika ada jenis pertanyaan seperti itu, Mbah Lurah akan menjawabnya dengan, "Apa sampean sudah merasa waras?".

Yah...begitulah Mbah Lurah, 'Suka aneh-aneh' begitu kalau kata orang-orang.

Seperti hari ini, Mbah Lurah tampak sibuk membersihkan rumah dan pekarangan di sekitarnya. Daun-daun kering ia sapu dan dibakarnya. Ranting-ranting kayu ia kumpulkan jadi satu, kayu yang memiliki diameter lebih besar ia gabungkan persudut untuk mendirikan tenda kecil di depan rumah. Terpal biru ia pasang sebagai payonan. Terakhir, Mbah Lurah menempelkan papan di depannya dengan tulisan 'Menjadi Debu Saja Kita Tidak Pantas'.

Melihat itu, Saikun yang melintas di depan rumah Mbah Lurah langsung menyapa.

"Assalamu'alaikum...."

"Wa'alaikumsallam....," Jawab Mbah Lurah dengan senang. "Mau kemana Kun, kok terlihat rapi."

"Mau ke rumah Pak Hari Bah," Saikun melirik tulisan yang ada di papan depan tenda "mau izin ke kota untuk mengambil pesanan takjil Pak RT."

"Ohhh begitu..."

"Dalem ngapunten Bah, kok pasang tenda di sini."

Tiba-tiba saja Mbah Lurah menunduk memandang butiran pasir yang berserakan di atas tanah.

"Sudah tidak ada lagi yang bisa aku banggakan atas diriku Kun,"

Saikun diam. Paham dengan bahasa tubuh Mbah Lurah yang sedang menyirati sebuah makna yang belum diketahui Saikun secara pasti.

"Apa ada masalah dengan rumahnya? Kulo saget bantu Bah"

"Tidak...tidak. Tidak ada kaitannya dengan rumah bermasalah. Adanya pemilik rumah yang bermasalah Kun,"

"kamu tahu Kun, sebenarnya apa posisi kita di dunia ini?"

"Jika bukan sebab mulianya Kanjeng Nabi, ahhh...," Mbah Lurah menangis.

"kita memang tidak pantas berjajar dengan besarnya biji kacang Kun. Untuk menjadi debu saja, kepala kita masih sering merasa besar."

"Bukannya umat Islam adalah umat terbaik ya Bah, mengapa kita tidak sebanding dengan sebiji kacang."

"Umat Islam menjadi umat terbaik karena kita adalah umatnya Nabi Muhammad. Tapi apakah kita tidak malu karena suka mendikte kemauan ketika berdoa? sudahkah kita merenungkan makna kalimat Allahu Akbar?"

"Ya..kita memang kerdil Kun. Hanya Allah yang Maha Besar. Kira-kira sebutan apa yang pantas untuk kita selain menjadi debu? Supaya kita tidak serta merta mudah meng-asorkan orang lain, mencela, hasud, suudzan, dan perbuatan buruk lainnya."

"Tidak ada Bah." Jawab Saikun pendek.

"Biarkan Ramadan kali ini aku di sini Kun. Di tenda yang kiranya masih besar untuk ukuran debu sepertiku."

"Nggih Bah, jika ada apa-apa panggil saya saja."

"Iya Kun."

"Pamit dulu Bah, takut kesiangan."

"Iya Kun."

 Sayup-sayup Mbah  Lurah mendendangkan syair Abu Nawas dengan meneteskan air mata. Tidak bisa dipungkiri bahasa yang keluar dari hati memang selalu indah, duhhh

Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi. Fa hablii taubatan waghfir  unuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi.

***

Diinspirasi dari penjelasan ngaji KH. Ahmad Mustofa Bisri 

#seriramadan3

Posting Komentar

0 Komentar