Rembukan itu Perlu

sumber:pinterest

Dari arah Barat Saikun bergegas menuju emper rumah Pak RT. Dua tiga kali ketukan, tidak ada sautan dari dalam. Ia bergerak menuju halaman samping, diintipnya melalui jendela. Rumah itu masih sepi. Raut wajah Saikun mulai gelisah dengan sesekali melihat undangan yang ada di gengamannya.

Kulo nuwunn, Pak RTEEE,” Saikun memanggil dengan sedikit kencang. Sepi. Ditengoknya sekali lagi, barang kali Pak RT tiba-tiba muncul di sekitarnya. Ia tidak menemukan tanda-tanda berpenghuni di rumah Pak RT. 

Saikun mendengar sayup-sayup irama gambyong dari halaman belakang. Benar, orang yang ia cari sedang bersenandung ria mengikuti alunan radio yang digantungkan asal pada leher sepeda ontel tua. Saikun menghembuskan napas lega, menemukan seseorang berkaus singlet putih dengan lintingan sarung yang medel-medel menyuapi kambing-kambing dalam kandang, Saikun segera menghampiri Pak RT untuk mengutarakan tujuannya.

“Mau minta bantuan apa Kun? Tanda tangan? Atau ada informasi penting?”. Saikun menelan ludah, menggembangkan hidungnya kesal, “Ada dawuh dari Pak Hari, ini sura…”

“Surat edaran selamatan kan,” tebak Pak RT dengan menaikkan kedua alisnya.

“Wah, mungkin iya. Tapi saya kurang tahu Pak.”

Wes, kamu buka saja, dibaca isinya pasti undangan megengan.” Saikun membukannya. Kiranya Pak RT memang suka memprediksi segala sesuatu, meskipun hal itu sepintas membuat Saikun menyimpan perasaan kesal. Saikun menyeringai ke arah Pak RT, menandakan kebenaran atas undangan megengan itu.

Warga Kaliwungu biasa menyebutnya dengan istilah megengan, tradisi Jawa yang biasanya dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Ruwah, sebagai wujud rasa syukur dan mengingatkan warga akan datangnya bulan Ramadan. Meskipun mayoritas warga Kaliwungu beragama Islam KTP, setidaknya mereka masih memakai tradisi ini untuk menyambut kedatangan Ramadan.

“Kita bagi tugas saja,” terang Pak RT, “ kamu kasih tahu soal megengan ini dari rumah Pak Nur sampai warungnya Mbak Mur. Bagianku mulai dari rumahnya Mbah Wage sampai mentok ke jalan buntu sana."

Saikun memanggut paham, dengan merendahkan tubuh ia ingin pamit pulang. Pak RT mencegahnya, tangannya yang terlihat belang itu segera menaikkan sarung untuk merogoh sesuatu dalam kantong celana kombornya. Uang. Lima puluh ribu-an. Ia berikan kepada Saikun sebagai tanda terima kasih sudah mau setia dengan warga Kaliwungu. Pak RT diam-diam memang menyukai tipikal pemuda seperti Saikun, cepat, tanggap dan anteng untuk ukuran pemuda seusiannya.

Saikun pulang, keluar dari halaman rumah Pak RT meninggalkan sang pemilik rumah dengan para kambingnya. Keduanya tidak menyadari ada sesuatu yang luput dari pandangan mereka. Bagaimana pun sudah terlanjur, Saikun bahagia dengan pemberian Pak RT, sedangkan Pak RT dari awal sudah percaya dengan hasil yang ia simpulkan. 

***

Selepas belanja dari tempat Lek Mur. Bu Imah dengan gupuh menghampiri suaminya. Ia menjadi bertanya-tanya dan ingin protes soal jadwal selamatan yang simpang siur di tengah-tengah warga. Warga Kaliwungu menerima undangan megengan bakda asar. Sedangkan setahu Bu Imah, Pak Hari memberitahunya tentang megengan kali ini akan dilaksanakan bakda maghrib. Bukan bakda asar.  Ia pun hanya sekedar tahu, tidak dengan alasannya.

“Mbok ya kalau ada pergantian itu dijelaskan to Pak.”

“Dijelaskan bagaimana lagi, di undangannya kan sudah jelas. Pasti Pak RT dan Saikun tidak membacanya dengan teliti.”

“Teliti ataupun tidak, bukan sepenuhnya salah mereka dong Pak. Kalau ada perubahan rutinitas itu mbok ya direncanakan dulu.”

“Itu sudah dipertimbangkan dan direncanakan.” Pak Hari mulai terpancing, memangnya keputusan ia salah? Mengundang megengan sekaligus mengirim doa untuk para leluhur. Memangnya salah?. Itu sudah menjadi keputusan yang paling benar. Menyesuaikan dengan kebiasaan orang-orang Kaliwungu. Toh jika megengan dilakukan bakda asar seperti sebelumnya, pasti tidak banyak di antara mereka yang melakukan Yasinan untuk para leluhur. Ya kan. Sebab besok sudah memasuki hari jum’at, alangkah baiknya jika megengan kali ini dilakukan bersamaan dengan pembacaan Yasiin. Ya kan.

“Iya…sudah direncanakan oleh Bapak,” Bu Imah sedikit kesal juga dengan perubahan jadwal tanpa pemberitahuan yang jelas itu. Jika ditanya warga dan ia tidak bisa menjawab. Ya malu to

“Pak RT dan Saikun kan juga orang-orang yang berpengaruh di kampung ini. Mbok ya dirembukkan bareng. Bapak malah dirembuk sendiri, diputusin sendiri, ngamuk sendiri.”

“Lho….siapa yang ngamuk.”

“Kalau saya nggak bilang, undangannya sudah sampai pada warga, beredar bakda asar, mereka sudah kumpul di masjid. Ternyata acaranya bakda maghrib. Yang pertama Bapak marahin siapa? Saikun to,”

“meskipun pendapat Bapak banyak benarnya, yang lain itu dipahamkan dulu. Dirembukkan baik-baik, apalagi Saikun takmir masjid. Yang setiap hari ngurusin masjid, kalau ia salah memberitahu soal acara masjid bisa jadi Bapak menjatuhkan wibawa Saikun.”

“Lhooooo…..kok tekan menjatuhkan wibawa Saikun.”

“La rumangsane Bapak, yang punya wibawa itu cuma Bapak saja. Ngedarkan undangan, mimpin doa setelah itu selesai.”

“Apa to ini, malah jadi ruwet.”

“Bapak yang ruwet, dirembukin sendiri. Orang lain itu ditanya dulu pendapatnya. Baru kasih keputusan.”

Mendengar sedikit ada keributan di rumah Pak Hari, Saikun tidak jadi mengetuk pintu. Ia menunggu di teras dan duduk di tlundakan bawah. Ia keluarkan sebatang rokok, baru saja ia akan nyalakan korek. Pak Hari membuka pintu. Terkejut. Mendapati orang yang akan ia cari sudah muncul duluan di depan rumah.

“Sudah lama disitu Kun?” sapa Pak Hari dengan membuka pintu lebih lebar lagi.

Mboten Pak. Baru saja sampai.” Saikun tidak berbohong, ia memang baru saja tiba di rumah Pak Hari. Tapi, bukan berarti Saikun tak mendengar perdebatan Pak Hari dengan Bu Imah. Apalagi ia mendengar namanya disebut beberapa kali.

Ngapunten Pak. Untuk jadwal megengan besok. Jadinya diganti bakda maghrib ya. Saya sudah terlanjur menyampaikan bakda asar kepada warga.” Saikun tidak enak hati dengan Pak Hari. Tebakan dari Pak RT sepenuhnya ia percaya, apalagi setelah ia menerima sangu dari Pak RT. Undangan yang diberikan Pak Hari, tidak lagi ia baca.

“Kalau menurutmu bagaimana Kun? Diganti atau tidak.”  

“Baiknya iya, tadi, di warung Lek Mur Bu Imah sudah membantah simpang siurnya undangan megengan. Apalagi besok bersamaan dengan malam jum’at lebih baik sesuai dengan usulan Pak Hari.”

“Ya sudah. Tolong kamu sebarkan lagi ya.”

“Ya..siap Pak Hari.”

“Jangan lupa, rumah Pak RT.”

Nggeh, saya pamit dulu.”

Bu Imah yang mendengarkan obrolan keduanya tersenyum. Seperti ada kegembiraan sendiri yang menyelinap di relung hatinya. Bukan karna kasmaran, tapi kegembiraan yang membuat matanya basah sebab kedamaian yang dilakukan oleh orang-orang sekitarnya. Berulang kali ia beristighfar, menyesal setelah memojokkan suaminya tentang rembukan itu. Ahh, kiranya sekali-kali memang harus begitu. Ya kan.

Dari bawah pohon Mbah Lurah cekikikan melihat kejadian itu. Sayup-sayup, angin membawa kabar kegembiraan bagi mereka yang berseteru. Ramadan kian dekat, kembalilah kalian pada jalan yang benar.

 

Marhaban ya Ramadan


#seriramadan1


Posting Komentar

0 Komentar