Dari arah Barat Saikun bergegas menuju emper
rumah Pak RT. Dua tiga kali ketukan, tidak ada sautan dari dalam. Ia bergerak
menuju halaman samping, diintipnya melalui jendela. Rumah itu masih sepi. Raut
wajah Saikun mulai gelisah dengan sesekali melihat undangan yang ada di
gengamannya.
“Kulo nuwunn, Pak RTEEE,” Saikun
memanggil dengan sedikit kencang. Sepi. Ditengoknya sekali lagi, barang kali
Pak RT tiba-tiba muncul di sekitarnya. Ia tidak menemukan tanda-tanda
berpenghuni di rumah Pak RT.
Saikun mendengar sayup-sayup irama gambyong
dari halaman belakang. Benar, orang yang ia cari sedang bersenandung ria
mengikuti alunan radio yang digantungkan asal pada leher sepeda ontel tua.
Saikun menghembuskan napas lega, menemukan seseorang berkaus singlet putih
dengan lintingan sarung yang medel-medel menyuapi kambing-kambing dalam
kandang, Saikun segera menghampiri Pak RT untuk mengutarakan tujuannya.
“Mau minta bantuan apa Kun? Tanda tangan? Atau
ada informasi penting?”. Saikun menelan ludah, menggembangkan hidungnya kesal,
“Ada dawuh dari Pak Hari, ini sura…”
“Surat edaran selamatan kan,” tebak Pak RT
dengan menaikkan kedua alisnya.
“Wah, mungkin iya. Tapi saya kurang tahu Pak.”
“Wes, kamu buka saja, dibaca isinya
pasti undangan megengan.” Saikun membukannya. Kiranya Pak RT memang suka
memprediksi segala sesuatu, meskipun hal itu sepintas membuat Saikun menyimpan
perasaan kesal. Saikun menyeringai ke arah Pak RT, menandakan kebenaran atas
undangan megengan itu.
Warga Kaliwungu biasa menyebutnya dengan
istilah megengan, tradisi Jawa yang biasanya dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Ruwah, sebagai wujud rasa syukur dan mengingatkan warga akan
datangnya bulan Ramadan. Meskipun mayoritas warga Kaliwungu beragama Islam KTP,
setidaknya mereka masih memakai tradisi ini untuk menyambut kedatangan Ramadan.
“Kita bagi tugas saja,” terang Pak RT, “ kamu
kasih tahu soal megengan ini dari rumah Pak Nur sampai warungnya Mbak
Mur. Bagianku mulai dari rumahnya Mbah Wage sampai mentok ke jalan buntu
sana."
Saikun memanggut paham, dengan merendahkan
tubuh ia ingin pamit pulang. Pak RT mencegahnya, tangannya yang terlihat belang
itu segera menaikkan sarung untuk merogoh sesuatu dalam kantong celana
kombornya. Uang. Lima puluh ribu-an. Ia berikan kepada Saikun sebagai tanda
terima kasih sudah mau setia dengan warga Kaliwungu. Pak RT diam-diam memang
menyukai tipikal pemuda seperti Saikun, cepat, tanggap dan anteng untuk ukuran
pemuda seusiannya.
Saikun pulang, keluar dari halaman rumah Pak RT
meninggalkan sang pemilik rumah dengan para kambingnya. Keduanya tidak
menyadari ada sesuatu yang luput dari pandangan mereka. Bagaimana pun sudah
terlanjur, Saikun bahagia dengan pemberian Pak RT, sedangkan Pak RT dari awal
sudah percaya dengan hasil yang ia simpulkan.
***
Selepas belanja dari tempat Lek Mur. Bu Imah dengan gupuh
menghampiri suaminya. Ia menjadi bertanya-tanya dan ingin protes soal jadwal
selamatan yang simpang siur di tengah-tengah warga. Warga Kaliwungu menerima
undangan megengan bakda asar. Sedangkan setahu Bu Imah, Pak Hari
memberitahunya tentang megengan kali ini akan dilaksanakan bakda
maghrib. Bukan bakda asar. Ia pun hanya
sekedar tahu, tidak dengan alasannya.
“Mbok ya kalau ada pergantian itu dijelaskan to Pak.”
“Dijelaskan bagaimana lagi, di undangannya kan sudah jelas. Pasti
Pak RT dan Saikun tidak membacanya dengan teliti.”
“Teliti ataupun tidak, bukan sepenuhnya salah mereka dong Pak.
Kalau ada perubahan rutinitas itu mbok ya direncanakan dulu.”
“Itu sudah dipertimbangkan dan direncanakan.” Pak Hari mulai
terpancing, memangnya keputusan ia salah? Mengundang megengan sekaligus
mengirim doa untuk para leluhur. Memangnya salah?. Itu sudah menjadi keputusan
yang paling benar. Menyesuaikan dengan kebiasaan orang-orang Kaliwungu. Toh jika
megengan dilakukan bakda asar seperti sebelumnya, pasti tidak banyak di
antara mereka yang melakukan Yasinan untuk para leluhur. Ya kan. Sebab besok
sudah memasuki hari jum’at, alangkah baiknya jika megengan kali ini
dilakukan bersamaan dengan pembacaan Yasiin. Ya kan.
“Iya…sudah direncanakan oleh Bapak,” Bu Imah sedikit kesal juga
dengan perubahan jadwal tanpa pemberitahuan yang jelas itu. Jika ditanya warga
dan ia tidak bisa menjawab. Ya malu to.
“Pak RT dan Saikun kan juga orang-orang yang berpengaruh di kampung
ini. Mbok ya dirembukkan bareng. Bapak malah dirembuk sendiri, diputusin
sendiri, ngamuk sendiri.”
“Lho….siapa yang ngamuk.”
“Kalau saya nggak bilang, undangannya sudah sampai pada warga, beredar
bakda asar, mereka sudah kumpul di masjid. Ternyata acaranya bakda maghrib. Yang
pertama Bapak marahin siapa? Saikun to,”
“meskipun pendapat Bapak banyak benarnya, yang lain itu dipahamkan
dulu. Dirembukkan baik-baik, apalagi Saikun takmir masjid. Yang setiap hari
ngurusin masjid, kalau ia salah memberitahu soal acara masjid bisa jadi Bapak
menjatuhkan wibawa Saikun.”
“Lhooooo…..kok tekan menjatuhkan wibawa Saikun.”
“La rumangsane Bapak, yang punya wibawa itu cuma Bapak saja.
Ngedarkan undangan, mimpin doa setelah itu selesai.”
“Apa to ini, malah jadi ruwet.”
“Bapak yang ruwet, dirembukin sendiri. Orang lain itu
ditanya dulu pendapatnya. Baru kasih keputusan.”
Mendengar sedikit ada keributan di rumah Pak Hari, Saikun tidak
jadi mengetuk pintu. Ia menunggu di teras dan duduk di tlundakan bawah. Ia
keluarkan sebatang rokok, baru saja ia akan nyalakan korek. Pak Hari membuka
pintu. Terkejut. Mendapati orang yang akan ia cari sudah muncul duluan di depan
rumah.
“Sudah lama disitu Kun?” sapa Pak Hari dengan membuka pintu lebih
lebar lagi.
“Mboten Pak. Baru saja sampai.” Saikun tidak berbohong, ia
memang baru saja tiba di rumah Pak Hari. Tapi, bukan berarti Saikun tak
mendengar perdebatan Pak Hari dengan Bu Imah. Apalagi ia mendengar namanya
disebut beberapa kali.
“Ngapunten Pak. Untuk jadwal megengan besok. Jadinya
diganti bakda maghrib ya. Saya sudah terlanjur menyampaikan bakda asar kepada
warga.” Saikun tidak enak hati dengan Pak Hari. Tebakan dari Pak RT sepenuhnya
ia percaya, apalagi setelah ia menerima sangu dari Pak RT. Undangan yang
diberikan Pak Hari, tidak lagi ia baca.
“Kalau menurutmu bagaimana Kun? Diganti atau tidak.”
“Baiknya iya, tadi, di warung Lek Mur Bu Imah sudah membantah
simpang siurnya undangan megengan. Apalagi besok bersamaan dengan malam
jum’at lebih baik sesuai dengan usulan Pak Hari.”
“Ya sudah. Tolong kamu sebarkan lagi ya.”
“Ya..siap Pak Hari.”
“Jangan lupa, rumah Pak RT.”
“Nggeh, saya pamit dulu.”
Bu Imah yang mendengarkan obrolan keduanya tersenyum. Seperti ada
kegembiraan sendiri yang menyelinap di relung hatinya. Bukan karna kasmaran,
tapi kegembiraan yang membuat matanya basah sebab kedamaian yang dilakukan oleh
orang-orang sekitarnya. Berulang kali ia beristighfar, menyesal setelah
memojokkan suaminya tentang rembukan itu. Ahh, kiranya sekali-kali memang harus
begitu. Ya kan.
Dari bawah pohon Mbah Lurah cekikikan melihat kejadian itu. Sayup-sayup, angin membawa kabar kegembiraan bagi mereka yang berseteru. Ramadan kian dekat, kembalilah kalian pada jalan yang benar.
Marhaban ya Ramadan
#seriramadan1
0 Komentar