Melek

 


Yang menarik adalah, ketika suatu hari seorang teman santri mengatakan “Apane sing abot, ming melek kan?”
“Apa yang sulit, hanya tidak tidur kan?”.

Awalnya saya hanya sekedar memaknai sebagai pernyataan atas jawaban yang butuh jawaban iya atau tidak dan terserah itu benar atau tidak! 

Sebab, dari pernyataan tersebut hanya menyimpan kalimat tanya yang tidak butuh untuk dijawab. Jika menjawab berlawanan mungkin akan ada pembuktian dan pernyataan yang lebih rumit dari sekedar menjawab iya. Dan ternyata memang benar jawaban iya di sana justru memang benar. 

Jika dicermati,  kalimat tersebut memang mengandung makna dalam yang tidak sesederhana seseorang mampu melewati fase di mana dirinya membutuhkan alat untuk menahan kantuk. 

Pada kalimat ‘Apane sing abot’ kita tidak hanya diajarkan untuk menduduki posisi terendah sebagai hambaNya, yang menemukan bagaimana puncak dari kepasrahan seseorang terhadap kehendak Tuhan, melainkan kita akan menemukan titik di mana harapan yang kita cemaskan atau sesuatu yang tidak akan mungkin terwujud dapat di belokkan begitu saja, dan tentunya menggunakan laggam bahasa yang sangat santai!

Padahal tidak semua orang berani mengambil risiko dan mampu membenarkannya, dengan dalih segala sesuatu sesungguhnya hanya berat pada asumsi individual saja. Begitupula realitas telah menunjukkan bahwa banyak kasus-kasus atau perkara-perkara yang perlu dipecahkan dan diselesaikan, jika hanya dengan pasrah kapan kita dapat berkembang? 

Dan bisa saja, banyak dari kita yang menganggap pendapat itu hanya sebagai ilusi belaka yang sulit untuk diterima.

Namun, saya juga menemukan ungkapan tukang pijet yang lebih sederhana lagi dalam menyikapi sebuah persoalan, begini “ Santai, masih ada Allah”. Kalimat tersebut seakan-akan ‘ngelulu’ dan menanyakan level keyakinan kita kepada kehendak Tuhan. Siapa kita? Sudah memiliki apa? Pantaskah segala keraguan kita sasarkan untuk memulai segala sesuatu? 

Seperti apa yang dikatakan oleh Hairus Salim, ketika mengalokasikan sebuah kecemasan banyak di dasarkan pada hukuman yang dibuat oleh manusia itu sendiri begini:

 “Kecemasan dan risiko adalah sesuatu yang sama, namun hidup memang harus berjalan dan kecemasan harus ditekan sedangkan risiko mesti dikelola”

Mungkin demikian yang ingin di sini. Pasrah bukan berarti tidak berusaha, bukankah Allah swt Maha  Melihat? tentunya tidak akan ada yang sia-sia mengenai segala usaha dan kebaikan kita. 

Yang kemudian disambungkan pada kata “melek kan?”.

Nah, leksikal pada kata “melek” dapat disinonimkan pada kata “jaga” atau “kuat menahan kantuk”, yang dapat dimaknai sebagai ungkapan: sanggup menahan segala aspek yang menyebabkan kita lengah, seperti ketika jadwal ngaji ada harapan tidak menyengaja untuk pindah tempat tidur atau tiba-tiba terserang penyakit kantuk ketika jadwal kegiatan lain sedang di laksanakan. 

Akan tetapi juga bukan hanya bermakna pada kemauan dan ketekadan kita untuk terus belajar. Lebih luasnya, dapat ditekankan pada sebuah harapan atau kecapakan santri dalam memetakkan segala aktivitasnya pada jam-jam yang telah ditentukan, tidak memutar dan mengambing hitamkan jadwal yang sudah didesaign sedemikian rupa oleh para pesohor pesantren dengan kegiatan lain yang kiranya dapat menguntungkan tiap individu. Problematik inilah yang masih sering terjadi, tentu saja perkara tersebut menjadi krusial dan berpengaruh pada unsur-unsur kesantrian seseorang.

Namun, jika dimaknai lebih dalam lagi, melek bukan hanya sekedar terjaga dalam kantuk, akan tetapi wujud terjaganya dari sifat-sifat yang dapat membutakan hati!

Barangkali kita lupa dan abai terhadap mata batin kita sendiri, hingga mudah memandang remeh orang lain bahkan tidak lagi menghormati dan memahaminya hanya karena merasa tinggi dibanding dengan orang lain. 

Bagaimana mungkin, diri kita yang penuh dengan kesalahan justru buta dengan aib itu sendiri? Bagaimana mungkin diri kita yang lemah ini, yang masih banyak berharap mendapat pertolongan namun buta dalam welas asih kepada orang lain? Bagaimana mungkin diri kita yang penuh dengan kesalahan ini, namun tidak mampu menerima kebenaran yang ada pada diri orang lain. Bukankah itu pertanda dari lemahnya iman?

Jadi, wajar saja jika saya menyetujui perkara melek memang sulit untuk dilakukan. Tanpa kita sadari, kita sedang diombang-ambingkan pada asumsi kebenaran yang kita rangkai sendiri hingga alpa dan buta dalam melihat sesuatu. Bukankah itu yang dinamakan bentuk dari kesombongan?

Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang telah ditolong oleh Allah Swt.

Wallahu a’lam bish shawab

Posting Komentar

0 Komentar