Di suatu sore yang syahdu, tampak pak Mad berjalan dari arah barat dengan membawa empat bingkisan kantong hitam yang ia dapat dari beberapa hajatan. Lagi-lagi, wajah keriputnya menunjukkan ekspresi tiada menentu. Keempat bingkisan nasi berkat itu ia letakkan di atas meja pawon, kemudian ia tarik kursi di depannya dan mulai mengamatinya. Sesekali, hembusan nafasnya melantunkan lafad istighfar kemudian pak Mad mencoba merenungi apa yang seharusnya dapat direnungi. Dengan menarik nafas kembali, pak Mad gantian mengucapkan lafad hamdalah disertai anggukan dua kali dan diiringi ketukan jari telunjuknya pada meja.
Hartini, selepas napeni beras di pekarangan belakang rumah berusaha mengalihkan fokus suaminya
" Urip kok penake koyo ngene ya Pak. Bungah aku, mpun seminggu gak masak blas" ujar Hartini dengan memasukkan beras pada gentong merah di bawah kompor.
Pak Mad masih tidak berkutik. Pandangannya tajam disertai perasaan gelisah dengan memandang empat bingkisan di depannya. Hartini yang merasa diabaikan mencoba menerka ada apakah gerangan, hingga suaminya tampak serius mengamati nasi berkat di depannya. Kemudian Hartini mendekat ke arah pak Mad, ia senggol sedikit lengan suaminya sambil memanggilnya dengan suara lirih.
" Pak,, Bapak...hee" Pak Mad masih terdiam. Kini tangan kekarnya malah menompang dagu hingga tampak jelas terdapat sesuatu yang serius mengenai nasi berkat itu.
" Pak madang yuhh, Ibu sejak siang tadi belum makan eg" pancing Hartini lagi "enaknya makan di ceting langsung apa di piring ya pak, emm kayaknya langsung di ceting mawon pripun Pak, saya sudah lapar banget ini" Lagi-lagi pak Mad tidak mengeluarkan suara. Hartini yang mendapatkan pengabaian kesekian kalinya oleh pak Mad mulai geregetan dan langsung mendekatkan bibirnya di telinga pak Mad
" Allahu akbar Allahhhhhhhu Akbar...."
Pak Mad terperenjat
"Astaghfirullahh,,buuuuuuu heeeee"
Hartini berhenti, kemudian melirik suaminya yang tampak sedikit kesal karena dibuat kaget olehnya.
" Nopo sih Bu, kok tiba-tiba azan gitu, saru" ujar pak Mad sedikit sinis. Hartini memonyongkan bibirnya dan mulai menarik kursi di sebelah pak Mad
" Lebih gak elokan mana, istrinya ngajak guneman ngalor ngidul bapak malah gak gagas. Hayo,,, yang mana. Misal gini ya Pak, ibarat berjuang Ibu itu mpun berusaha untuk memiliki hati Bapak tapi ambyar di tengah jalan" Jelas Hartini disertai dengan penekanan nada yang kuat. Pak Mad yang mendengarkan hanya menyeritkan dahinya. Tidak paham.
"Gak masuk akal blas Bu, kok bisa ibaratnya begitu. Masalah berjuang untuk mendapatkan hati itu sudah selesai, kitakan sudah menikah bertahun-tahun. Untuk apalagi berjuang untuk itu"
"Laaaaa rumangsane jenengan! dicuekin iku kategori disayang apa ngggak??? Kan nggak salah kalo Ibu mengibaratkan seperti itu. Ibu mpun senggol-senggol Bapak, tapi ternyata ada yang lebih memikat hati dan pikiran Bapak. Bukannya itu yang dinamakan ambyarr"
Sontak pak Mad tertawa terbahak-bahak, seakan-akan kegelisahan yang menghantui pikirannya hilang begitu saja.
"Mbok rasah ibarat-ibarat Bu. Ileng umur. Gak elok masih mempertahankan kebucinan"
"Ealahhh Pakk, mbok ibarat tadi itu dibales pakek apa gitu, Jann gak romantis blass!!" Gerutu Hartini menyesalinya "La terus Bapak itu kenapa, kok bisanya mengamati nasi berkat sampek lupa sama istri"
"Haha ya sepurane lo Buk, bukan maksud Bapak lupa. Tapi masalah per-berkatan ini lebih urgent dari sekedar Ibu merengek minta makan"
" Laa nopo to masalahnya Pak" Hartini mulai tampak serius dengan masalah suaminya.
" Gimana nggak mumet to Buk, kok bisa-bisanya kita dan orang-orang itu tega, dalam sesaat, ujug-ujug dapat berkat empat bingkisan begitu"
" Wahh laya apa masalahnya to Pak, kan alhamdulillah, wong ya kita dikasih. Apa bapak klenger makan ayam potong terus? Kan ya lumayan, saya jadi ndak masak"
"Bukannya begitu Bu, kita itu cuma hidup berdua lo. Anak sudah besar-besar semua sekolah, kerja di tempat jauh. Siapa yang mau ngehabisin ini. Paling banter ya kena ayamnya Mak Jan"
"Iya kalo ayamnya mau makan nasi sisa berkat. La pora ayam ya sama seperti manusia. Bosen dikasih lauk enak terus, lagian Mak Jan pasti ya ngasih makan ke ayamnya"
"Duhhhhh Pak perkoro berkat saja lo, kok dipikir nemen"
"Iling Bu, kita itu pernah hidup susah. Larang pangan, lihat nasi sisa di tempat cucian piring saja Bapak kudu nangis. Mubadzir kalo sampe nasinya kebuang. Nelangsa eram jaman mbiyen ki Bu" Keluh pak Mad dengan menyandarkan kedua pundaknya pada punggung kursi. Hartini yang melihat keresahan suaminya hanya menggeleng pelan dan mengelus dada.
"Gembengan!!" "Udah jangan kuatir nggak habis, nggak usah juga dikasihkan sama ayamnya Mak Jan"
"La terus, maksud Ibu? Ibu mau makan semuanya?? Ya Allah Bu ingat, apapun yang berlebihan itu nggak baik. Belum lagi kalo nggak habis, nasi lauk kecampur-campur po ya enak karak rasa sambel gitu" timpal pak Mad sedikit kesal
"Haishhh, Pak Pak mbok ya jangan overthinking. Bapak ingat kisah yang diceritain Pak Mantri nggak? Waktu riyoyo kemarin kita sowan ke sana" Kata Harti "Seharusnya orang hidup iku memang bisa sawang sinawang sama orang lain. Peka dengan keadaan dan orang sekitar. Jika selama ini yang kita perhatikan hanya ayam kelaparan dan mendapat sisa nasi dari kita. Bagaimana nasib orang seperti Bores yang setengah dari jiwanya mengalami gangguan dan tidak memiliki siapa-siapa. Hidup sendiri di pos kuburan, mencari makan dan berusaha menghibur diri dengan tawanan gak jelas. Atau nasib Halilintah yang benar-benar gila itu juga nggak butuh makan? Apakah mereka-mereka itu tidak memilukan??
Pak Mad mulai terkesima dan teringat dengan kisah dari pak Mantri
"Kita akan terlalu sempit dan terlalu sombong, jika memandang hanya orang-orang waras saja yang dapat merasakan kenikmatan dari Pengeran. Padahal, kenikmatan itu seharusnya memang harus dibagi dengan yang lain"
"Mpun Bapak nggak usah khawatir. Habis ini satu bungkus kasihkan ke Bores dan satu lagi kasihkan ke Lala"
"La yang dua? "
"Satu kita makan, satunya lagi didang meneh, dinget buat makan besok hehehe"
Diinspirasi dari problematika yang berkembang di desa saya
0 Komentar