Kisah Penjual Gorengan di Bulan Ramadan

 


Buka puasa akan terasa lengkap jika ada menu apa?

"Gorengan,,"

Begitulah jawab bapak mewakili sebagian besar orang ketika suara azan maghrib mengema, sedangkan jemari bapak masih memutar di atas menu lainnya dan tidak didapatkannya tepung goreng itu.

Ramadan kali ini, selain kabar ngaji bandongan online di masa pagebluk, saya sedang mengamati keceriaan dan semangat orang-orang yang telah saya jumpai di setiap simpangan jalan kemerdekaan. Ya, kemerdekaan menyambut bulan suci ramadan. Tentu akan berbeda dengan tahun sebelumnya. Begitu pula dengan kejutan pedagang dadakan yang memenuhi ruas-ruas jalan.

Membahas mengenai takjil, yang paling akrab dengan masyarakat adalah jajan gorengan. Ketenaran gorengan tidak dapat diragukan lagi dengan endulnya  adonan tepung tersebut dari tahun ke tahun. Meskipun banyak pakar gizi yang mengungkapkan bahayanya makan gorengan, makanan jenis instan ini akan sulit digantikan dengan menu makanan praktis lainnya Apalagi disajikan ketika jam buka puasa tiba,  wes kadung mbekas ng ilate wong Indonesia eg hehehe.

Di pertengahan ramadan kemarin, dengan waton saya mengamati penjual gorengan yang gencar di minati warga, tepat menggelar jualannya di depan pesantren. Ketika jam kegiatan ngaji usai, sang penjual akan kewalahan melayani para santri yang berebut minta jatah plastik untuk wadah gorengan, tak lain dengan para pembeli lainnya yang tidak jarang putar balik sebab isi elatase sudah habis.

Setiap hari, setiap sore, gorengan itu ludes. Senyum sumringah penjual merambat begitu saja bagi orang yang menyaksikannya, termasuk saya. Suatu malam, bayangan gorengan depan pondok tiba-tiba terlintas begitu saja ketika seorang teman menceritakan perihal kepedihan seorang ibu penjual gorengan keliling yang sudah dua hari jualannya masih tersisa tiga puluhan. Rasa syukur yang berulang kali saya ucapkan, dengan begitu cepat tergantikan dengan aminan dari kisah itu. Sembari memohon doa kelancaran rezeki dan menceritakan 10 anak yang harus ia rawat, Ibu tersebut memberikan sisa gorengan kepada teman saya dan rekan-rekannya.

Lalu? Bagaimana?

Kebahagiaan seseorang terukur dengan cara yang berbeda-beda 

kemudian saya tidak dapat melanjutkan kisahnya kembali.

 

Posting Komentar

0 Komentar