Judul Buku : Kurma Di Ladang Salju ‘Catatan Lintas Budaya dari Negeri Tirai Bambu’
Pengarang : Ali Romdhoni
Penerbit : Buku Mojok
Tahun terbit : 2019
Tebal buku : xvi + 200 halaman
‘Kurma Di Ladang Salju’ merupakan kumpulan artikel penulis saat melanjutkan studi doktoral bidang religious Studies di Universitas Heilongjiang Harbin, China. Secara khusus, penulis memperhatikan pola hidup orang-orang China terlebih umat Muslim di sana. Perkara-perkara ganjil yang nihil terjadi di Indonesia justru ia temui di Negara yang memiliki tembok raksasa tersebut.
Terdapat empat pelajaran penting yang saya dapat dalam buku ini. Pertama mengenai budaya kerja kerasa yang tinggi. Tidak asing, proses kerja orang-orang China dibahas dalam beberapa forum di belahan dunia termasuk di Indonesia. Masyarakat yang memiliki budaya etos kerja tinggi jelas tidak meninggalkan sikap disiplin yang mengiringi pekerjaan mereka. Sejak anak-anak, masyarakat China telah terdidik menjadi pribadi yang mandiri, mereka bersedia menempuh kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menyadari untuk menuju pemaknaan hidup bahagia perjalanan susah payah harus mereka tengguk terlebih dahulu.
Saya yang dangkal ini semakin dibuat penasaran ketika penulis menggambarkan proses belajar orang-orang China yang begitu antusias. Pola belajar yang saya anggap sangat luar biasa tentu jauh berbeda dengan budaya belajar orang-orang Indonesia. Jika penulis mengisahkan hanya terdapat suara gesekan lembar buku maupun suara pena yang terjatuh di dalam perpustakaan maupun dalam ruang belajar hal ini mengabarkan bahwa orang-orang China memiliki rasa saling menghargai yang tinggi.
Ketidakpedulian mereka terhadap keadaan sekitar ketika belajar jelas berbanding jauh dengan proses belajar orang-orang Indonesia yang ‘doyan’ ngobrolnya sudah mendarah daging. Suasana perpustakaan yang di desain tenangpun harus kembali diingatkan dengan tulisan yang tidak kalah besar terpampang di berbagai sudut ruang tersebut “ Dilarang Berisik”.
Tentunya setiap bangsa memiliki cara tersendiri dalam membentuk karakter orang-orang di dalamnya, untuk bisa ditampilkan di masa mendatang. Tidak lebih dengan masyarakat Indonesia yang memiliki rasa sosial dan solidaritas tinggi yang dapat dituangkan melalui kajian diskusi ringan maupun berat.
Kedua, Mengenali jati diri bangsa. Kesuksesan orang China dalam membangun masyarakat dan negaranya salah satunya terpicu dengan sikap keberanian yang tertanam setiap jiwa untuk menjadi pribadi dan bangsa yang mandiri. Perlawanan keras terhadap pengaruh budaya luar sangat ditonjolkan oleh pemerintahnya. Konon katanya sebutan ‘Negeri Tirai Bambu’ merujuk terhadap sikap penguasa Negara yang menjaga serta tidak merusak tatanan nilai budaya yang sudah melekat. Hal ini menunjukkan seberapa bangga kita terhadap bangsa yang sedang kita duduki.
Kita terlahir dalam kedukaan yang sama. menyaksikan penjajahan yang begitu hebat membabat hak-hak manusia, namun bukankah lebih miris jika generasi penerus bangsa -seperti saya- yang masih banyak dangkal dalam memahami kondisi dan situasi yang telah terjadi. Bagaimana dapat mengenal jati diri bangsa sendiri jika rasa kedamaian tidak dihadirkan bahkan tidak tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia.
Satu hari yang lalu pembahasan sejarah menjadi menarik setelah salah satu teman saya membubuhkan pernyataan ‘sampai mana perjalanan sejarah Indonesia dapat mendidik anak bangsa’ sejak sekolah dasar kita sudah dijejalkan pelajaran sejarah yang kisahnya tidak pernah rampung dibahas hingga sekolah tingkat SMA maupun telah lulus sekolah.
Kembali saya dikabarkan tentang meme di media sosial mengenai penghapusan pelajaran Sejarah. September lalu, beredarnya draf pemberitaan ketidakwajiban hingga akan dihapuskannya pelajaran Sejarah jelas menjadi perbincangan hangat di kalangan pendidik. Tidak lama setelah itu muncullah klarifikasi dari Mendikbud, Nadiem Makarim mengenai penghapusan dan ketidakwajiban belajar sejarah pada peserta didik khususnya bagi siswa tingkat SMA bahwa isu tersebut hanyalah hoax.
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) memberikan komentar apabila pelajaran Sejarah dihapus dalam dunia pendidikan, hal ini akan berdampak pada identitas siswa, serta melalui [ Pelajaran Sejarah merupakan alat strategis siswa dalam membangun karakter (tirto.id 22 September 2020)
‘sampai saat ini sejarah perjuangan mana yang mampu mematahkan kemerdekaan hidupmu saat ini?’
Pembahasan mengenai sejarah memiliki ruang minat tersendiri setelah saya membaca buku ini. Namun hasil pengamatan saya, tidak banyak teman-teman saya yang berhasil memahami sejarah secara keseluruhan sesuai dengan pelajaran yang telah diberikan termasuk saya sendiri, sungguh miris. Tidak hanya berhenti pada tahap mempelajari sejarah bangsa sendiri, namun rasa mempertahankan dan bangga terhadap bahasa, budaya adalah salah satu cara merawat bangsa menciptakan formula untuk membuka pemikiran kaum muda dalam membangun pengetahuan modern.
Ketiga, Kerinduan yang langka. Pernah terjadi diskusi ringan dengan teman saya mengenai keberadaan pengeras suara. Dalam buku ‘Beragama Bertoleransi’ karangan Muhammad Milkhan volume pengeras suara dibahas cukup jelas dalam memaknai dakwah melalui pengeras suara yang telah menjadi kebutuhan tersendiri, khusunya bagi tempat ibadah (masjid). Di sini, azan yang awalnya hanya menjadi penanda waktu sholat tiba, dengan dihadirkannya alat pengeras suara di setiap tempat ibadah mushola/masjid secata bersama-sama mengumandangakn azan dapat menghadirkan keriuhan yang memekakan telinga, seolah-olah menjadikan azan sebagai satu kesatuan dengan kewajiban untuk sholat.
Padahal, berdakwah dalam beragama perlu menjaga dan mempertimbangkan kenyamanan hak-hak dari agama lain. Mengapa kita harus berbeda dalam menyikapi soal agama? Padahal bukan berarti Negara yang mayoritas beragama Islam mampu menyumbangkan pemikiran Islam untuk Islam dunia. Indonesia bukan negara Islam yang setiap saatnya masih mempermasalahkan keyakinan para umatnya yang menurut penulis masalah ini seharusnya sudah dianggap selesai. Namun, Negara Pancasila yang menghimpun berbagai ragam budaya, suku, bahasa, serta agama masyaratnya.
Sedangkan umat Muslim di China hanya sebanyak 24.114.120 orang yang berarti 1,8 persen dari total jumlah penduduk yang mencapai 1.341.340.000 jiwa. Dengan angka minoritas Muslim di negara ini keberadaan masjid jelas tidak semarak keberadaan masjid di Indonesia. Dengan kondisi ekspresi Islam yang sangat terbatas justru memiliki perasaan khusus terhadap rumah ibadah ini. Penulis menyampaikan kerinduannya yang serius terhadap ‘baitullah’ bagaimana tidak kerinduan tersebut menjadi sangat memuncak ketika perjalanan untuk menuju masjid saja harus menempuh jarak hampir satu jam. Luar biasa bukan?
Kemudian bagaimana dengan jumlah tempat ibadah kita yang tidak lagi dapat dihitung dengan jari tersebut sepi akan umatnya? Di mana letak kerinduan yang telah lama disia-siakan? Seharusnya rasa khusus itu terus hadir di saat kita menyadari bahwa kemeriahan dakwah sudah menyebar di seluruh penjuru Negara? Tanpa mampu melahirkan ketaatan beragama secara lahir batin, semua itu hanya menjadi angin yang telah berlalu.
Keempat, menjadi orang tua sekaligus guru bagi anak. Keputusan penulis untuk melanjutkan studi di Negara tirau bambu bukanlan sesuatu yang mudah hasutan mengenai orang-orang China yang pintar dalam memonopili perdagangan di Indonesia menanamkan sikap negative terhadap Negara tersebut. Padahal dengan rasa iri atau marah tersebut tidak seharusnya dirawat yang justru merusak anak bangsa sendiri, sedangkan kita masih tetap berdiam diri ditempat tanpa melakukan perubahan.
Menjadi orang tua merupakan pokok dari tumbuhnya idealis dari seorang anak. Dengan segala penolakan untuk melanjutkan studi di Harbin China, penulis kembali dimantapkan dengan dua tokoh Islam Indonesia bukan hanya sukses mendidik putra-putranya namun telah menjadi inspirasi dan wadah bagi anak-anaknya.
Penulis menandai orang-orang yang menjadi ‘besar’ bukan hanya berkontribusi dalam masalah sosial saja, namun juga hadir dalam keluarga untuk menjadi orang tua serta guru bagi anak-anaknya. Yakni KH Zubair Dahlan dari Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Merupakan ayah dari KH Maimoen Zubair, yang kelak melahirkan kiai-kiai berpengaruh terhadap masyarakat. Kemudian KH Bisri Musthofa, Rembang. Tokoh yang merupakan ayah dari KH Musthofa Bisri tersebut dikenal masyarakat sebagai penulis, orator, serta kepiawaian beliau dalam menjelaskan pesan-pesan agama kepada masyarakat. Dari sini penulis menyimpulkan peran orang tua dalam mendidik anak bukanlah suatu hal yang sepele yang justru ditinggalkan. Melainkan menjadi guru bahkan hadir dalam paradigma anaknya. Bukankah menekuni hal-hal kecil sangat menarik? Demikian begitu.
Untuk saya dan teman-teman semoga kami dapat menjadi orang yang berguna
Wallahu a’lam bis-shawab.
0 Komentar