KOMPILASI BAPAK DENGAN HUJAN

 


Hujan. Mengingatkanku pada ruang mungil yang tiada jeda membelah ingatanku terhadap kisah-kisah di dalamnya. 

Di sana, di ruang tamu. Bapak selalu lebih dulu bertengger di kursi utama selepas asar sembari berdendang tembang apa saja. Dengan balutan sarung yang melilit perut buncitnya dan koko besar yang berhasil menenggelamkan lengan legamnya, bapak kerap memadukan suara ketukan cincin akik dengan lengan kursi kayu. 

Ada dua lagu yang paling aku ingat dari sajian lagu-lagu bapak. Aku memang tidak terlalu pandai  menirukan irama bapak. Namun, dentum guyuran air hujan di luar berhasil mengingatkanku pada liriknya 

Jo podo nelongso/jamane jaman rekoso/Urip pancen angel/kudune ra usah ngomel//

Ati kudu tentrem/nyambut gawe karo seneng/ulat ojo peteng/nek dikongkon yo sing temen//

Lha opo tho konco/ati kerep loro/ ra gelem rekoso/mbudi doyo//Pancen kabeh podo/pengin urip mulyo/wiwitan rekoso/pancen nyoto//

 


Hujan

Mengingatkanku pada ruang mungil yang tiada jeda membelah ingatanku terhadap kisah-kisah di dalamnya. 

Di sana, di ruang tamu. Bapak selalu lebih dulu bertengger di kursi utama selepas asar sembari berdendang tembang apa saja. Dengan balutan sarung yang melilit perut buncitnya dan koko besar yang berhasil menenggelamkan lengan legamnya, bapak kerap memadukan suara ketukan cincin akik dengan 

 kursi kayu 


 yang bersepakat mengikuti irama tipis-tipis yang bapak dendangkan. Ada dua lagu yang paling aku ingat dari sajian lagu-lagu bapak. Aku memang tidak terlalu pandai  menirukan irama bapak. Namun, dentum guyuran air hujan ini berhasil mengingatkanku pada liriknya 

Jo podo nelongso/jamane jaman rekoso/Urip pancen angel/kudune ra usah ngomel//

Ati kudu tentrem/nyambut gawe karo seneng/ulat ojo peteng/nek dikongkon yo sing temen//

Lha opo tho konco/ati kerep loro/ ra gelem rekoso/mbudi doyo//Pancen kabeh podo/pengin urip mulyo/wiwitan rekoso/pancen nyoto//

Belasan tahun yang lalu, di sore hari, mungkin lebih banyak waktuku dan mbak ayu menuntaskan kegirangan untuk bermain air di sumur. Derasnya air hujan membuatku tidak lagi menggubris nasihat ibu yang terdengar sayup-sayup dari balik rajutan bambu tipis itu. Tiba-tiba bapak muncul dengan kantong hitam  yang melekat di kepalanya. Kami tertawa jenaka sambil menggoda bapak yang tidak menginginkan rambutnya basah. Sambil menimba sumur, tawa kami memecah kilatan petir yang menyambar ringan daun-daun pohon paling atas. Kami sengaja menimba air berulang kali, meski air di dalam bak memuntahkannya di pelataran jeding yang bersemen kasar, saat itu aku merasa kebahagiaanku tiada yang menandingi diantara tawa anak kecil lainnya.  

Jika selepas maghrib hujan tidak kunjung reda bahkan suara air hujan yang membentur genting rapuh terdengar semakin bising. Saat itu pula keluarga kecil kami kembali bekerja sama. Ibu dan bapak bersepakat mendorong almari besar dan meja-meja ringan untuk disatukan di tengah-tengah rumah. Sedangkan aku dan mbak ayu menyiapkan gombal  bekas dan koleksi baskom ibu untuk dijejer searah dengan genting yang bocor.  

Suatu ketika bapak dan ibu pernah terpaksa ikut mengarungi hujan bersama kami. Merasa sudah tua mereka tidak lepas menyerahkan tubuh pada guyuran air hujan, dua buah payung melindungi tubuh mereka, bukan karena ingin ikut bermain bersama melainkan merasa kesal akan keteledoranku dan adikku ketika mendengar salah satu hewan peliharaan kami hilang tertimpa arus hujan. Dugaan bapak selalu tersirat dan selalu benar. Kami mengakuinya namun sering mengabaikan bidikan-bidikan itu. Hewan bertulang belakang itu bertengger ketakutan di emperan rumah tetangga, bapak menyentuhnya dengan kasih kemudian memungut dan memasukkannya kandang sepasang kura-kura kami.  

Di balik jendela, penampilan orang-orang berlalu lalang menyisahkan kisah pada setiap garis mukanya. Tawa anak-anak yang membebaskan tubuh mungil pada guyuran air hujan, atau gelisah para pekerja yang meneduhkan diri di pinggiran kalobi rumah tetangga. Memang sedang di design seperti itu, dan harus begitu. Kata ibu dengan membawa ubi goreng dan dua gelas kopi panas. Hanya ada dua gelas di kamus pembuatan kopi oleh ibu. Kopi untuk dirinya dan untuk bapak. Entah apa yang membuat ibu enggan membuatkan kopi khusus untuk anak-anaknya, kecuali susu putih untuk si kecil dan air hangat untukku. Selebihnya aku lebih memilih bapak untuk menemaniku sajian-sajian lainnya. 

Suatu ketika aku membantu ibu meracik bumbu ikan pepes khas Lahat, daerah asal ibu. Tiba-tiba ibu bercerita perihal hujan dan seduhan kopi yang ia buat hanya untuk bapak. Hujan telah dulu menjadi anggota keluarga di masa umur pernikahan ibu dan bapak terbilang muda. Di mana bapak yang masih sering mengangkat barang dagangan untuk dinaikkan ke angkot, di mana persediaan jas hujan tidak dimilikinya hanya untuk sekedar membungkus tubuh bapak. Kala itu ibu hanya mampu menemani bapak dengan bubuk kopi yang tidak genap utuh satu sendok. Bapak menerimanya dengan bahagia, mengucap syukur berulang kali kemudian mencoba kopi yang jelas rasanya sepo. 

Ibu tidak lagi melanjutkan kisahnya, bagaimana dan pada titik mana kasih dapat mengikat pilu antara bapak dengan ibu. Namun, sampai saat ini aku menyimpulkan bahwa di saat hujan tiba, Ibu  ingin membayar kebahagiaan aroma kopi hanya untuk bapak. Seorang. Selebihnya kami boleh mengganggu perjamuan itu. Tidak dengan sajiannya. 

Hujan selalu membawa kesan berbeda pada keluarga kami. Bapak selalu berkisah tentang kehidupan jaman dahulu, mengajak keluarga kecil kami menyelami kisah pilu yang dirasakannya yang sengaja ia campur dengan cuah-cuah bumbu tawanya. Paket kisah nasib lengkap menemani kami di sore hari menghantarkannya  hingga menjelang maghrib.

 Seperti diaba-aba, hujan melambat ketika berbagai surau di desa mengumandangkan adzan. Bau tanah selepas hujan menjadi candu mengundang manusia untuk memuji rahmat Tuhan. Di perempatan jalan tepat di depan pos kamling, kerumunan laron beterbangan sesuai dengan suara jangkrik dan kodok yang saling bersautan. Menyaksikan saja, ingatanku meleset cepat tentang petualangan kami ketika memburu laron di dalam rumah. 

Sebagai bentuk hiburan saja. Saat itu selepas isya’ dan setelah tetesan air hujan menyamudra di bumi semesta. Bisa ditebak, hewan kecil bertubuh sedikit bontot itu ramai mengunjungi cahaya yang terselip di tembok-tembok basah rumah kami. Celah-celah sengaja kami tutup rapat-rapat, yang tersisa hanya lampu ruang tengah yang bersinar setengah redup dan mengundang gelak waspada kami akan berhamburnya laron-laron yang berterbangan. 

Aku dan mbak ayu bersakukan cangkir plastik mulai memanjat kursi dan meja untuk memangsa laron-laron yang datang tanpa diundang. Dengan gercep mbak ayu melihatkan gaya akasnya memburu hewan bekas rayap itu. Sebelum gerak lidah cicak mendahului kami, sorot mata kami lebih dahulu diminta awas menyingirkan keinginan cicak-cicak yang kelaparan. Sedangakan bapak memapahkan diri untuk berjaga dari bawah juga siap menangkap sisa tubuh laron yang berjatuhan di lantai. Seperti air salju yang menghujani isi rumah. Laron-laron itu terpaksa melepas ringan sayap-sayapnya, sehingga menjadikan ruang utama kami menjadi lautan larah laron. Tidak hanya sayap, tubuh laron yang tidak sengaja terinjak dengan salah satu gerak cepat kami mletet begitu saja di lantai. Aku dan mbak ayu terkejut menyaksikannya, setelah ibu bergeming dari dalam kamar, meminta aksi kami disudahi. Menurut ibu hal ini konyol, berisik dan mengganggu tetangga. Aku, bapak dan mbak ayu hanya cekikikan menyudahinya dengan mematikan lampu ruangan tersebut.

Suatu hari bapak lebih awal pulang dari pasar. Selepas ashar bapak memandangi wacana-wacana yang melingkar tipis garis bolpoint yang ia tuahkan pada angka kalender. Kacamata rabun ia ambil dari gantungan paku yang terpahat pada kayu dalam almari baju. Sambil menerka gambar yang ia torehkan pada kertas putih, bapak mengganti koko putih tulangnya dengan kaus seadanya. 

Di luar langit tampak cerah tumpukan kayu jati bekas ia seret menuju halaman rumah. Dingklek lebih dulu ia siapkan. Benda yang tidak bisa lepas dari pekerjaan bapak, yang mengakibatkan bapak divonis diabetes ringan. Sambil bersiul papan berlapis tiga ia keluarkan secara bergantian. Empat lembar Tripleks yang bapak sandarkan memenuhi permukaan dinding depan rumah.

 Banyak orang yan menyebut bapak sebagai multitalenta. Jika ada orang yang meminta bapak untuk membuat kursi, meja atau alat masak bapak selalu ringan membantu. Meskipun tidak sepenuhnya ia paham tentang ilmu pertukangan setidaknya bapak cukup mengerti gerakan dasar mengasah kayu. Jika suatu ketika ibu-ibu tergopoh-gopoh menyeret anaknya dihadapan bapak, berarti gaya rambut selanjutnya ada ditangan bapak. Jika pada rantai sepeda anak tetangga putus, hanya bapak diantara laki-laki di desa yang sanggup menyelesaikannya.  

Sambil memeriksa sudut balok keras itu, gerimis menyusul pekerjaan bapak mengantarkannya untuk  mendendangkan lagu ini, lagu yang aku sebut lagu kedua yang aku suka dan aku ingat


Gula jawa rasane legi/kripik mlinjo dipangan asu/ Arep mulyo kudu marsudilbuto ijo ojo ditunggu// 

Tul jaenakjae jatul jaeji/Kuntul jare banyak/ndoge bajul karisiji


Abang-abang gendero londo/Wetan sithik kuburan mayit/Klambi abang nggo tondo moto/Wedhak pupur nggo golek dhuwit//

Saat itu aku tidak terlalu paham maksud dari dendangan bapak, namun aku menangkap seberkas cahaya gelisah dari balik kacamata rabunya. Kata ibu, lagu itu mengandung bau politik, ibu ngeri mendengarnya dan melengos pergi begitu saja ketika aku meminta penjelasan atas dendangan bapak. Setelah itu aku tidak lagi bertanya, bahkan kepada bapak sendiri.

Papan-papan dan potongan kayu jati bapak kikis menjadi meja belajar untukku. Ukuran  meja belajar yang besarnya tidak sewajarnya. Sesak, memenuhi kamar tidurku. Karya bapak satu ini tidak terlalu buruk dibanding meja persegi yang sebelumnya ia buat untukku ketika aku berusia tujuh tahun, tidak ada dinding tidak ada rak buku. 

Meja belajar jumbo ini memiliki dua lubang pada almari yang ia satukan dengan dua lubang kosong untuk tempat buku-bukuku. Pada dinding-dinding almari aku sampul sekenanya dengan sisa koran dan kalender bekas yang ibu simpan. Aku memandangnya haru. Dua lembar kertas putih sengaja aku pajang pada permukaan dinding luar, tertera di sana jadwal pelajaran kelas IV sekolah dasar dan agenda kegiatan setiap hari dan minggu-an. Sisanya terdapat gambaran pemandangan dan hasil ketikan pertamaku seputar hari kemerdekaan. 

Hujan selalu terlihat awet  di sore hari, ia akan mereda ketika jadwal sholat datang dan ketika malam mulai larut. Jika deras, tiba-tiba saja otakku memutar rekaman suara ibu yang selalu mengingatkan untuk mematikan televisi, menghentikan kegiatan bermain gadget dan mengajak kami menikmati suara gluduk. Sambil bergidik menyaksikan kilatan petir, hal ini tidak pernah jera bagi keluarga kami untuk mengulanginya lagi dan lagi. Tidak lama setelah itu bapak akan melanjutkan tembangnya dan akan dihentikan oleh ibu ketika bapak mulai memainkan perut buncitnya disertai tawa candanya.

Dan, dewasa ini aku tidak lagi mendengarkan bapak berdendang seperti dulu. Aku tidak tahu apa yang menghalanginya dengan hiburan kecil itu, yang aku tahu ketika hujan mulai turun kami hanya menyaksikan dengan menjamu hening dengan seduhkan aroma kopi yang menyeruak memenuhi ruangan yang tidak ada dua puluh kotak itu.  tersebut seperti simbol pengharapan bapak kepada anak-anaknya, yang jarang sekali dijelaskan secara langsung. Bapak selalu tampak sederhana dan tidak tergesa-gesa dalam menikmati fase kehidupan yang ia jalani. Dan aku, selalu kagum dibuatnya dengan berbagai kisah yang bapak utarakan.

Belasan tahun yang lalu, di sore hari dengan derasnya hujan yang membasahi permukaan kota kami, mungkin lebih banyak waktuku untuk menuntaskan kegirangan bermain air di sumur. Derasnya air hujan membuatku tidak lagi menggubris nasihat ibu yang terdengar sayup-sayup dari balik rajutan bambu tipis itu. Tiba-tiba bapak muncul dengan kantong hitam  yang melekat di kepalanya. Kami tertawa jenaka sambil menggoda bapak yang tidak menginginkan rambutnya basah. Sambil menimba sumur, tawa kami memecah kilatan petir yang menyambar ringan daun-daun pohon paling atas. Kami sengaja menimba air berulang kali, meski air di dalam bak memuntahkannya di pelataran jeding yang bersemen kasar, saat itu aku merasa kebahagiaanku tiada yang menandingi diantara tawa anak kecil lainnya.  

Jika selepas maghrib hujan tidak kunjung reda bahkan suara air hujan yang membentur genting rapuh terdengar semakin bising. Saat itu pula keluarga kecil kami kembali bekerja sama. Ibu dan bapak bersepakat mendorong almari besar dan meja-meja ringan untuk disatukan di tengah-tengah rumah. Sedangkan aku dan mbak ayu menyiapkan gombal  bekas dan koleksi baskom ibu untuk dijejer searah dengan genting yang bocor.  

Suatu ketika bapak dan ibu pernah terpaksa ikut mengarungi hujan bersama kami. Merasa sudah tua mereka tidak lepas menyerahkan tubuh pada guyuran air hujan, dua buah payung melindungi tubuh mereka, bukan karena ingin ikut bermain bersama melainkan merasa kesal akan keteledoranku dan adikku ketika mendengar salah satu hewan peliharaan kami hilang tertimpa arus hujan. Dugaan bapak selalu tersirat dan selalu benar. Kami mengakuinya namun sering mengabaikan bidikan-bidikan itu. Hewan bertulang belakang itu bertengger ketakutan di emperan rumah tetangga, bapak menyentuhnya dengan kasih kemudian memungut dan memasukkannya kandang sepasang kura-kura kami.  

Di balik jendela, penampilan orang-orang berlalu lalang menyisahkan kisah pada setiap garis mukanya. Tawa anak-anak yang membebaskan tubuh mungil pada guyuran air hujan, atau gelisah para pekerja yang meneduhkan diri di pinggiran kalobi rumah tetangga. Memang sedang di design seperti itu, dan harus begitu. Kata ibu dengan membawa ubi goreng dan dua gelas kopi panas. Hanya ada dua gelas di kamus pembuatan kopi oleh ibu. Kopi untuk dirinya dan untuk bapak. Entah apa yang membuat ibu enggan membuatkan kopi khusus untuk anak-anaknya, kecuali susu putih untuk si kecil dan air hangat untukku. Selebihnya aku lebih memilih bapak untuk menemaniku sajian-sajian lainnya. 

Suatu ketika aku membantu ibu meracik bumbu ikan pepes khas Lahat, daerah asal ibu. Tiba-tiba ibu bercerita perihal hujan dan seduhan kopi yang ia buat hanya untuk bapak. Hujan telah dulu menjadi anggota keluarga di masa umur pernikahan ibu dan bapak terbilang muda. Di mana bapak yang masih sering mengangkat barang dagangan untuk dinaikkan ke angkot, di mana persediaan jas hujan tidak dimilikinya hanya untuk sekedar membungkus tubuh bapak. Kala itu ibu hanya mampu menemani bapak dengan bubuk kopi yang tidak genap utuh satu sendok. Bapak menerimanya dengan bahagia, mengucap syukur berulang kali kemudian mencoba kopi yang jelas rasanya sepo. 

Ibu tidak lagi melanjutkan kisahnya, bagaimana dan pada titik mana kasih dapat mengikat pilu antara bapak dengan ibu. Namun, sampai saat ini aku menyimpulkan bahwa di saat hujan tiba, Ibu  ingin membayar kebahagiaan aroma kopi hanya untuk bapak. Seorang. Selebihnya kami boleh mengganggu perjamuan itu. Tidak dengan sajiannya. 

Hujan selalu membawa kesan berbeda pada keluarga kami. Bapak selalu berkisah tentang kehidupan jaman dahulu, mengajak keluarga kecil kami menyelami kisah pilu yang dirasakannya yang sengaja ia campur dengan cuah-cuah bumbu tawanya. Paket kisah nasib lengkap menemani kami di sore hari menghantarkannya  hingga menjelang maghrib.

 Seperti diaba-aba, hujan melambat ketika berbagai surau di desa mengumandangkan adzan. Bau tanah selepas hujan menjadi candu mengundang manusia untuk memuji rahmat Tuhan. Di perempatan jalan tepat di depan pos kamling, kerumunan laron beterbangan sesuai dengan suara jangkrik dan kodok yang saling bersautan. Menyaksikan saja, ingatanku meleset cepat tentang petualangan kami ketika memburu laron di dalam rumah. 

Sebagai bentuk hiburan saja. Saat itu selepas isya’ dan setelah tetesan air hujan menyamudra di bumi semesta. Bisa ditebak, hewan kecil bertubuh sedikit bontot itu ramai mengunjungi cahaya yang terselip di tembok-tembok basah rumah kami. Celah-celah sengaja kami tutup rapat-rapat, yang tersisa hanya lampu ruang tengah yang bersinar setengah redup dan mengundang gelak waspada kami akan berhamburnya laron-laron yang berterbangan. 

Aku dan mbak ayu bersakukan cangkir plastik mulai memanjat kursi dan meja untuk memangsa laron-laron yang datang tanpa diundang. Dengan gercep mbak ayu melihatkan gaya akasnya memburu hewan bekas rayap itu. Sebelum gerak lidah cicak mendahului kami, sorot mata kami lebih dahulu diminta awas menyingirkan keinginan cicak-cicak yang kelaparan. Sedangakan bapak memapahkan diri untuk berjaga dari bawah juga siap menangkap sisa tubuh laron yang berjatuhan di lantai. Seperti air salju yang menghujani isi rumah. Laron-laron itu terpaksa melepas ringan sayap-sayapnya, sehingga menjadikan ruang utama kami menjadi lautan larah laron. Tidak hanya sayap, tubuh laron yang tidak sengaja terinjak dengan salah satu gerak cepat kami mletet begitu saja di lantai. Aku dan mbak ayu terkejut menyaksikannya, setelah ibu bergeming dari dalam kamar, meminta aksi kami disudahi. Menurut ibu hal ini konyol, berisik dan mengganggu tetangga. Aku, bapak dan mbak ayu hanya cekikikan menyudahinya dengan mematikan lampu ruangan tersebut.

Suatu hari bapak lebih awal pulang dari pasar. Selepas ashar bapak memandangi wacana-wacana yang melingkar tipis garis bolpoint yang ia tuahkan pada angka kalender. Kacamata rabun ia ambil dari gantungan paku yang terpahat pada kayu dalam almari baju. Sambil menerka gambar yang ia torehkan pada kertas putih, bapak mengganti koko putih tulangnya dengan kaus seadanya. 

Di luar langit tampak cerah tumpukan kayu jati bekas ia seret menuju halaman rumah. Dingklek lebih dulu ia siapkan. Benda yang tidak bisa lepas dari pekerjaan bapak, yang mengakibatkan bapak divonis diabetes ringan. Sambil bersiul papan berlapis tiga ia keluarkan secara bergantian. Empat lembar Tripleks yang bapak sandarkan memenuhi permukaan dinding depan rumah.

 Banyak orang yan menyebut bapak sebagai multitalenta. Jika ada orang yang meminta bapak untuk membuat kursi, meja atau alat masak bapak selalu ringan membantu. Meskipun tidak sepenuhnya ia paham tentang ilmu pertukangan setidaknya bapak cukup mengerti gerakan dasar mengasah kayu. Jika suatu ketika ibu-ibu tergopoh-gopoh menyeret anaknya dihadapan bapak, berarti gaya rambut selanjutnya ada ditangan bapak. Jika pada rantai sepeda anak tetangga putus, hanya bapak diantara laki-laki di desa yang sanggup menyelesaikannya.  

Sambil memeriksa sudut balok keras itu, gerimis menyusul pekerjaan bapak mengantarkannya untuk  mendendangkan lagu ini, lagu yang aku sebut lagu kedua yang aku suka dan aku ingat


Gula jawa rasane legi/kripik mlinjo dipangan asu/ Arep mulyo kudu marsudilbuto ijo ojo ditunggu// 

Tul jaenakjae jatul jaeji/Kuntul jare banyak/ndoge bajul karisiji


Abang-abang gendero londo/Wetan sithik kuburan mayit/Klambi abang nggo tondo moto/Wedhak pupur nggo golek dhuwit//

Saat itu aku tidak terlalu paham maksud dari dendangan bapak, namun aku menangkap seberkas cahaya gelisah dari balik kacamata rabunya. Kata ibu, lagu itu mengandung bau politik, ibu ngeri mendengarnya dan melengos pergi begitu saja ketika aku meminta penjelasan atas dendangan bapak. Setelah itu aku tidak lagi bertanya, bahkan kepada bapak sendiri.

Papan-papan dan potongan kayu jati bapak kikis menjadi meja belajar untukku. Ukuran  meja belajar yang besarnya tidak sewajarnya. Sesak, memenuhi kamar tidurku. Karya bapak satu ini tidak terlalu buruk dibanding meja persegi yang sebelumnya ia buat untukku ketika aku berusia tujuh tahun, tidak ada dinding tidak ada rak buku. 

Meja belajar jumbo ini memiliki dua lubang pada almari yang ia satukan dengan dua lubang kosong untuk tempat buku-bukuku. Pada dinding-dinding almari aku sampul sekenanya dengan sisa koran dan kalender bekas yang ibu simpan. Aku memandangnya haru. Dua lembar kertas putih sengaja aku pajang pada permukaan dinding luar, tertera di sana jadwal pelajaran kelas IV sekolah dasar dan agenda kegiatan setiap hari dan minggu-an. Sisanya terdapat gambaran pemandangan dan hasil ketikan pertamaku seputar hari kemerdekaan. 

Hujan selalu terlihat awet  di sore hari, ia akan mereda ketika jadwal sholat datang dan ketika malam mulai larut. Jika deras, tiba-tiba saja otakku memutar rekaman suara ibu yang selalu mengingatkan untuk mematikan televisi, menghentikan kegiatan bermain gadget dan mengajak kami menikmati suara gluduk. Sambil bergidik menyaksikan kilatan petir, hal ini tidak pernah jera bagi keluarga kami untuk mengulanginya lagi dan lagi. Tidak lama setelah itu bapak akan melanjutkan tembangnya dan akan dihentikan oleh ibu ketika bapak mulai memainkan perut buncitnya disertai tawa candanya.

Dan, dewasa ini aku tidak lagi mendengarkan bapak berdendang seperti dulu. Aku tidak tahu apa yang menghalanginya dengan hiburan kecil itu, yang aku tahu ketika hujan mulai turun kami hanya menyaksikan dengan menjamu hening dengan seduhkan aroma kopi yang menyeruak memenuhi ruangan yang tidak ada dua puluh kotak itu. 

Posting Komentar

0 Komentar