KABAR DUKA: Review film "Lemantun"


 “ ajeng damel nopo to buk”

“ Ibu ki sejatine arep menehi kowe-kowe kabeh warisan. Ning dudu wujud omah opo lemah nanging lemari”

Beberapa pekan lalu pasca trendingnya hastag butejo dalam film tilik, saya kembali dibuat penasaran dengan film pendek milik Wregas Bhanuteja yang berjudul Lemantun. Film yang berhasil publish pada tahun 2014 ini dapat memikat penonton dengan dihadirkannya para tokoh yang merupakan anggota dari teater gandrik Yogyakarta.

Seperti  kutipan di atas, film dengan durasi 21 menit 40 detik tersebut, menceritakan keinginan seorang ibu untuk memberikan warisan kepada 5 anaknya, bukan berupa rumah maupun tanah melainkan almari, almari lama yang telah ia beli bersama suaminya setiap melahirkan anak-anaknya. Peran ibu dalam film tersebut dapat mewakili perasaan para ibu lainnya yang menunjukkan kasih sayang dan perasaan khawatir terhadap buah hati, meskipun tidak banyak dari kita yang memilih akhir kisah serupa.

Seperti paribahasa jawa yang pernah saya dapat bahwa kepingin anak seneng wong tua sampek jungkel-jungkel. Kita tidak akan mampu menghitung nikmat peluh orang tua yang disalurkan kepada kita. Lumrah, jika pundak mengeras kulit menghitam. Keduanya membingkis dengan kesepakatan bukan pada urat yang mereka kokohkan pada ego, butuh rasa cinta yang kelak juga dibalas dengan rasa yang sama.

Film tersebut menyorot pada anak nomer tiga yang bernama  Tri. Sosok Tri ini memiliki sifat welas asih yang ia dapat dari ibunya, Tri juga memiliki sikap legowo dan berjiwa besar. Namun, sosok werwatak lugu ini tidak memiliki keistimewaan dibanding dengan 4 saudaranya. Diantara 5 anak ibunya tinggal Tri yang tidak memiiki kesuksesan, ia hanya bekerja sebagai penjual bensin dan rela merawat ibunya yang sepuh. 

Pada buku "Mbah Moen", obituari karangan Anom Whani Wicaksana ini banyak menyalurkan pesan-pesan beliau yang sangat berguna bagi kehidupan kita. Tidak jarang pesan-pesan Mbah Moen dapat menohok kita, salah satu pesan dari beliau adalah tentang pentingnya menjaga persaudaraan. Jangan tinggalkan keluarga karena mereka adalah tempat kita pulang. Jangan memalingkan muka pada keluarga. 

Dalam film Lemantun, selain kita disadarkan pada kasih sayang seorang ibu dan diperlihatkan dengan sikap legowo tokoh Tri. Pesan Mbah moen terkait menjaga harmonis dan keutuhan keluarga dapat disampaikan melalui scene almari pemberian ibu yang tidak dirawat oleh anak-anaknya. Jika pada tulus kasih seorang ibu tidak dapat terbalaskan.  Kebaikan-kebaikan kecil mana yang pantas kita diabaikan? bukan melulu soal banyak amal kita yang dapat dibesarkan pada ikhlas. Mungkin saja dengan menjaga sikap itu akan jauh lebih baik.

Ketika sepasang jiwa berhasil meraihkan bintang untuk anak-anaknya, rekat rapalan doa yang tidak pernah putus terkadang tersekat dengan kebahagiaan dari personalnya. Jarang buah hati yang rela menorehkan hidupnya untuk kedua orang tua sampai akhir hayat, begitu pula yang dilakukan sosok Tri. Ia memang tidak memiliki kesuksesan yang dapat membahagiakan ibunya, namun ia memiliki jiwa yang tulus untuk selalu berada di sisi ibunya, membahagiakan dengan rasa sederhana yang tidak semua anak dapat melakukannya. Sikap yang dilakukan Tri inilah menjadikan kita sadar, bahwa disekitar kita telah banyak sosok seperti Tri. Banyak berbuat, banyak mengasih namun seperti tidak dianggap. Dari film tersebut tokoh Tri mampu mengingatkan saya kepada seseorang.

15 tahun yang lalu, saya yang masih berumur 6 tahun menerjap kagum pada seseorang yang berdiri di depan kaca, ia  menyisir rambutnya sambil tersenyum. Wak Daus, panggilan akrab yang dikenalkan ibu kepada anak-anaknya. Sebutan Wak ukuran orang Jawa serupa dengan Pakdhe. Pasalnya bukan pada kesuksesan yang saya ulas, ataupun pada sikap saudara-saudaranya, melainkan sikap lugu yang ia sandang.

Saya memang tidak tahu persis bentuk harmonis keluarga yang dibangun nenek lanang dan nenek edok kepada putra-putrinya. Namun, hadirnya akun whatsApp untuk ukuran ibu yang tergolong wanita tua dapat mengasak dalam panjatan doa’doa ringan yang ia susul dengan buaian air mata.

Pada rumah kita memang tidak pernah salah dalam melabuh, seharusnya kita dapat bertahan hidup di sana dapat pula untuk bernafas. Namun, sejauh ini banyak diantara kita yang sengaja menjangkah jauh, tidak pulang jika kabar duka tidak singgah pada genggamannya.  

 


Posting Komentar

1 Komentar

  1. memang bagus sekali filem ini, karna warisan tidak semua nya harus rumah ataupun uang
    https://bit.ly/2EMwZ9k

    BalasHapus