Assalamu'alaikum Pak Haji Bukan Pak Sholat Atau Pak Puasa




“ Kenapa yang dihormati hanya orang yang berhaji? Kenapa orang salat tidak dipanggil Pak salat? Orang puasa tidak dipanggil Pak Puasa? Orang yang berzakat, Pak Zakat?” Cak Rusdi.

Panggilan Pak Haji atau Pak Kaji ( panggilan dari orang jawa ) yang ditujukan kepada bapak-bapak yang sudah berhaji, atau Bu Kaji yang ditujukkan kepada ibu-ibu yang sudah Haji, hal ini menjadi sesuatu yang biasa di kalangan masyarakat Indonesia. Sesuatu yang BIASA, seharusnya kata biasa ini ndak hanya saya blod dan saya capital saja, namun perlu di italic dan underline. Mengapa? Karena jawaban ini merupakan ungkapan Mat Piti yang mewakili masyarakat Indonesia kepada Cak Dlahom pada bukunya Cak Rusdi  Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, hanya sebagai panggilan untuk menghormati orang-orang yang sudah berhaji. Wagu jane ning wes kebacut sue,,,,

Dan uniknya gelar ini hanya ada di Indonesia. Mengapa demikian?
Mengapa orang yang ahli puasa, ahli zakat tidak mendapat gelar demikian?

Dalam situs Islami.co menjelaskan bahwa, pemberian gelar Haji ini masih ada kaitannya dengan masa penjajah Belanda. Pada tahun 1903, di Indonesia mempunyai peraturan baru bahwa orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji diharuskan menambah gelar Haji atau Hajjah di depan namanya. Gelar ini awalnya hanya bertujuan untuk memanipulasi masyarakat Indonesia, supaya mempermudah Belanda dalam mengawasi gerak-gerik orang muslim yang dianggap membahayakan.
Seperti keberhasilan Mbah Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah dan Mbah Hasyim Asyari dalam mendirikan Nahdatul Ulama’. Orang-orang muslim yang pergi beribadah haji dan akan pulang dengan membawa semangat nasionalisme, di sinilah Belanda merasa terancam. 

Kemudian dalam  cerpen “ Rubuhnya Surau Kami” karya A. A Navis, yang digamblangkan kembali oleh Hairus Salim pada bukunya Tuhan Yang Tersembunyi, sesaat cerpen karya simbah Navis ini terasa sangat tajam dan menusuk bagi pembacanya. Pak Salim sendiri ndak tanggung-tanggung memaparkan dialog panjang lebar dalam cerpen tersebut. Supaya nuansa satiris dan karikaturalnya dapat menampar masyarakat. 

Dialog antara Tuhan dengan Haji Saleh yang sangat karikatural.
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama
“Engkau?”
“ Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Makkah, Haji Saleh namaku.”
“ Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.”

Dalam dialog selanjutnya, Haji Saleh ini menceritakan semua amal kebaikannya namun, nihil hal itu tidak dapat merayu Tuhan untuk tetap mendekatkan Haji Saleh dengan api neraka. Ketika Haji itu dianggap sebagai puncak kesalehan ritual karena melaluinya, seluruh sumber daya material, fisik, dan mental dicurahkan untuk menggenapinya, padahal itu bukan jaminan segala-galanya.

Tuhan sesungguhnya sangat akrab dengan hamba-Nya, namun dalam cerpen A.A Navis justru jarak Tuhan dengan hamba-Nya sangat terbentang jauh. Hal ini perlu di garis bawahi bahwa  pengabdian bukan hanya kepada Tuhan saja, namun harus selaras dengan manusia juga. Dan, gelar Haji itu tidak dilarang, yang dilarang adalah rasa tinggi hati atas gelar barunya.
“Ya Mbak Mas Shalat,,,”



Posting Komentar

0 Komentar