“Jadi manusia ya jadi manusia yang waras, nrimo ing pandum ( menerima apa adanya) Ikhlas tur sabar, gak usah ikut-ikut benci sama yang lain, benci sama setan saja kita gak punya hak.”
Awal masuk kuliah -masih sregepnya bolak-balik keluar masuk perpus- di deretan rak buku panjang, saya iseng-iseng membaca buku bergenre Islami.
Judul bukunya, saya sudah tidak ingat, namun dari berlembar-lembar kutipan, hanya satu yang saya ingat sampai sekarang.
Kalimatnya singkat tapi sempat asing di telinga saya. “Bencilah seseorang karena Allah”
Bencilah seseorang karena Allah. Ingat!! Karena Allah.
Jujur, ilmu saya yang cupet ini belum paham dengan pernyataan tersebut. Kedua bola mata saya berjalan perlahan ke kiri ke kanan, bawah atas hanya untuk menemukan ke arah mana kalimat itu sedang di landaskan. Dan, saya belum menemukan penjelasannya.
Kalimat itu benar-benar mengganggu sepanjang perjalanan pulang saya. Bagaimana tidak, serius saya tersindir.
Ternyata membenci sesuatu ada tahapan untuk mendapat rida Allah ya? Tapi, bukankah sejak dini kita telah diajarkan untuk berbuat baik? Memiliki perasaan benci kepada orang lain tidak pernah diindahkan oleh guru manapun.
Ning, kita ya harus sadar. Awak dewe nggur sopo, nggur iso opo. Ya kan. Perihal marah, gusar, atau keadaan yang tidak sesuai dengan harapan kita memang sudah menjadi bagian dari watak manusiawi.
Dan, kebetulan saya dibuat jelas oleh pernyataan salah satu kawan yang ia kutip dari Habib Haidar Bagir.
"Benci karena Allah adalah yang sejalan dengan ajaranNya tentang membenci. Yaitu membenci perilaku, bukan pelaku. Kita harus lakukan apa saja untuk melawan keburukan. Tapi kita pun harus tetap berharap si pelaku bisa jadi orang baik, meski saat harus menghukumnya. Itulah wujud Rahmah-RahmaniahNya".
Singkat saja, ini hanya menjadi tanda betapa luasnya rahmat Pengeran, yang jelas-jelas tidak mampu untuk kita hitung nikmatNya.
Mengenai kemarahan yang jelas lumrah menyerang siapa pun, perlu kita ingat bahwa segala sesuatu yang terlalu berlebihan dan berlarut-larut tidaklah baik. Dan yang perlu di garis bawahi adalah nesu ya nesu ning aja wonge sing dinesuni, tapi nesuni sifate.
Terkadang, manusia melupakan hal sepele seperti ini. Sekali seseorang melakukan kesalahan kepada kita, ranah maaf yang seharusnya sudah terhimpun di setiap jiwa manusia tentu dapat bertolak belakang sebab tertutupnya pintu maaf.
Mengapa demikian? Bukankah Pengeran sendiri adalah dzat yang Maha Pengampun?Apa yang menjadikan kita tidak memiliki ruang untuk memaafkan? Sikap egokah? Sombong? Atau merasa lebih benar daripada orang lain.
Jelas-jelas setan yang ditugaskan untuk menggangu manusia saja tidak layak kita musuhi, apalagi sesama manusia yang diciptakan lebih sempurna dari makhluk lain. Tidakkah kita hanya pantas untuk bersyukur saja?.
Hargai tugas semua makhluk, masalah dihargai orang lain atau tidak bukanlah perkara penting yang perlu untuk diperjuangkan. Jika kita sudah mampu menghargai apa yang ingin dimiliki, dilakukan orang lain. Mungkin rasa resah, marah tersebut bisa hilang.
Jangan suka marah-marah
Nggak baik untuk kesehatan. Hehe
Wallahu a'lam bish showab
1 Komentar
uluh uluhh
BalasHapus