Di gardu arah masjid, tampak Mbah Sunah menghembuskan asap rokonya dengan menenteng dua kantong plastik putih yang berisikan nasi berkat yang akan ia bawa di acara nanti. Terbangnya asap rokok lamat-lamat membuat ia kembali mengingat kejadian dua tahun lalu. Di teguknya habis arak satu botol sambil melintas di depan masjid ketika warga sedang melaksanakan salat tarawih. Sambil mabuk Mbah Sunah ngelantur tidak karuan di sela orang-orang masjid menjawab aminnya imam. Mbah Sunah tersenyum saja, dan pergi meninggalkan botol yang ia letakkan di jalan masuk menuju masjid.
“Padahal kemarin masih terasa bulan Syawal, sekarang sudah akhir Ruwah saja.” Lamunan Mbah Sunah hilang, ketika Pak RT dan bapak-bapak lain ikut berkumpul menghampiri Mbah Sunah.
“Iya," Mbah Sunah menanggapi "zaman benar-benar sudah tua. Semakin hari semakin terasa tuanya. Cepat sekali putaran setiap minggunya.”
Pak RT tertawa, sambil memegang pundak Mbah Sunah, “La
panjenengan sudah beli iqra’ dereng Mbah, harusnya besok malam sudah
dimulai ngajinya.”
"Belum
sanggup membeli, masih ragu"
"Kenapa ragu
Mbah, kalau tidak ya pinjam lagi saja di masjid."
Mbah Sunah membuang puntung
rokok dan diinjaknya, "Apa aku pantas ikutan belajar di masjid, tahun
kemarin saja aku paling lama selesainya. Lidahku sudah tidak muda lagi"
"Lho..mengapa tidak pantas Mbah. Apa di masjid ada aturan yang boleh ikut ngaji hanya yang lancar-lancar saja. Nggak kan."
"Malu, mantan pemabuk seperti aku ini memang seharusnya diasingkan."
"Emang Mbah Lurah beneran
mau diasingkan?"
"Kira-kira tempat mana
yang layak untuk diriku?"
"Ya di
masjid."
"Selain
masjid,"
"Musala"
"Selain
Musala"
"Kuburan."
"Lho...ya jangan
kuburan dulu, belum siap"
"Hahahaha"
Pak Tri mendekat ke arah
Mbah Sunah, ikutan menyahut. "Baru tobat saja sudah mau meninggalkan
Allah. Bagaimana kalau gak ndalan. Mungkin lebih tersesat lagi."
"Semua orang memang
kembalinya ke akhirat. Kalo dipanggil sekarang, aku ya belum siap. Nopo
sampen mau dulu, kan sudah siap."
"Bukan perkara siap
atau nggaknya Mbah. Yang penting kan belajarnya dulu. Sudah tobat kalau aras-arasen
mendekat dengan Allah, ya mending kembali jadi pemabuk."
Semua mendadak senyap.
Kiranya usia Mbah Sunah memang sudah setengah baya. Perjalanan hidupnya sebagai
pentolan para pemabuk memang sudah kondang di mana-mana. Sudah dua tahun ini
Mbah Sunah meninggalkan minuman keras, belajar wudu, salat, dan saat ini ia
masih dirundu gelisah untuk belajar huruf-huruf Hijaiyah.
Pak RT yang mendengarkan
keduanya mendadak salah tingkah. Pembahasan mereka benar-benar serius rupanya.
Padahal awalnya Pak RT hanya ingin bercanda, ia tahu bagaimana sebenarnya Mbah
Sunah sedang gelisah. Sedang dirundu ketakutan. Tapi....Sudahlah mungkin
sebaiknya memang berangkat ke masjid.
"Ayo, jangan
mau jadi masbuk dalam selamatan." Ajak Mbah Lurah tiba-tiba
mendahului dengan membawa sebungkus roti apem.
"Berkatnya mana
Mbah? kok cuma bawa apem."
"Ya ini
berkatku"
"Wah, kalo gitu
caranya rotimu gak bakal laku Mbah."
Mbah Lurah berhenti,
kembali menghampiri bapak-bapak yang belum jadi berangkat ke masjid "Aku
nggak jualan, ya ini berkatku. Siapa yang mendapatkannya berarti aku beruntung."
Kiranya Pak RT memang
masih ingin bercanda, ditanggapinya lagi Mbah Lurah
"Ya enakan sampean no
Mbah, pulang-pulang apemnya ditukar sama nasi."
"Salah sendiri
selamatan bawanya nasi."
"Ya itu umum Mbah,
yang nggak umum itu yang berangkat selamatan hanya bawa apem saja."
"Ya gak papa yang
pentingkan niatku bagus. Memohon ampun kepada masyarakat sekitar dengan membawa
apem ini."
"Niat bagus kok
diomong-omongkan, ya hangus." Lagi-lagi Pak Tri menyahut.
"Lebih baik apemku, satu tapi ditujukan benar-benar hanya untuk megengan. Mengingatkan diri untuk menahan dari segala rasa iri, dengki, dan merasa benar dari orang lain. Apa orang-orang memang benar melupakan makna dari tradisi ini,"
"memberantas
sikap 'merasa benar' itu memang harus diupayakan. Mula dengan adanya megengan,
kita seharusnya bersyukur telah diingatkan, didekatkan dengan bulan suci.
Kiranya sombong itu memang perlu ditunjukkan, untuk orang-orang yang suka
menyombongkan diri atas kelebihannya."
Pak Tri diam. Pak RT dan
Mbah Sunah saling melirik.
"Mari kita
berangkat bersama-sama, mohon maaf lahir dan batin." Ajak Mbah Lurah
mendahului langkah menuju ke masjid.
#seriramadan2
0 Komentar