Iri, Dengki, dan Sombong: Kiranya Memang Harus Diberantas


 Sumber:Pinterest

       Di gardu arah masjid, tampak Mbah Sunah menghembuskan asap rokonya dengan menenteng dua kantong plastik putih yang berisikan nasi berkat yang akan ia bawa di acara nanti. Terbangnya asap rokok lamat-lamat membuat ia kembali mengingat kejadian dua tahun lalu. Di teguknya habis arak satu botol sambil melintas di depan masjid ketika warga sedang melaksanakan salat tarawih. Sambil mabuk Mbah Sunah ngelantur tidak karuan di sela orang-orang masjid menjawab aminnya imam. Mbah Sunah tersenyum saja, dan pergi meninggalkan botol yang ia letakkan di jalan masuk menuju masjid. 

      “Padahal kemarin masih terasa bulan Syawal, sekarang sudah akhir Ruwah saja.” Lamunan Mbah Sunah hilang, ketika Pak RT dan bapak-bapak lain ikut berkumpul menghampiri Mbah Sunah.

         “Iya," Mbah Sunah menanggapi "zaman benar-benar sudah tua. Semakin hari semakin terasa tuanya. Cepat sekali putaran setiap minggunya.”

     Pak RT tertawa, sambil memegang pundak Mbah Sunah, “La  panjenengan sudah beli iqra’ dereng Mbah, harusnya besok malam sudah dimulai ngajinya.”

           "Belum sanggup membeli, masih ragu"

     "Kenapa ragu Mbah, kalau tidak ya pinjam lagi saja di masjid."

Mbah Sunah membuang puntung rokok dan diinjaknya, "Apa aku pantas ikutan belajar di masjid, tahun kemarin saja aku paling lama selesainya. Lidahku sudah tidak muda lagi"

          "Lho..mengapa tidak pantas Mbah. Apa di masjid ada aturan yang boleh ikut ngaji hanya yang lancar-lancar saja. Nggak kan."

         "Malu, mantan pemabuk seperti aku ini memang seharusnya diasingkan."

"Emang Mbah Lurah beneran mau diasingkan?" 

"Kira-kira tempat mana yang layak untuk diriku?"

"Ya di masjid."

"Selain masjid,"

"Musala"

"Selain Musala"

"Kuburan."

"Lho...ya jangan kuburan dulu, belum siap"

"Hahahaha"

Pak Tri mendekat ke arah Mbah Sunah, ikutan menyahut. "Baru tobat saja sudah mau meninggalkan Allah. Bagaimana kalau gak ndalan. Mungkin lebih tersesat lagi."

"Semua orang memang kembalinya ke akhirat. Kalo dipanggil sekarang, aku ya belum siap. Nopo sampen mau dulu, kan sudah siap."

"Bukan perkara siap atau nggaknya Mbah. Yang penting kan belajarnya dulu. Sudah tobat kalau aras-arasen mendekat dengan Allah, ya mending kembali jadi pemabuk."

Semua mendadak senyap. Kiranya usia Mbah Sunah memang sudah setengah baya. Perjalanan hidupnya sebagai pentolan para pemabuk memang sudah kondang di mana-mana. Sudah dua tahun ini Mbah Sunah meninggalkan minuman keras, belajar wudu, salat, dan saat ini ia masih dirundu gelisah untuk belajar huruf-huruf Hijaiyah.

Pak RT yang mendengarkan keduanya mendadak salah tingkah. Pembahasan mereka benar-benar serius rupanya. Padahal awalnya Pak RT hanya ingin bercanda, ia tahu bagaimana sebenarnya Mbah Sunah sedang gelisah. Sedang dirundu ketakutan. Tapi....Sudahlah mungkin sebaiknya memang berangkat ke masjid.

"Ayo, jangan mau  jadi masbuk dalam selamatan." Ajak Mbah Lurah tiba-tiba mendahului dengan membawa sebungkus roti apem. 

"Berkatnya mana Mbah? kok cuma bawa apem."

"Ya ini berkatku"

"Wah, kalo gitu caranya rotimu gak bakal laku Mbah."

Mbah Lurah berhenti, kembali menghampiri bapak-bapak yang belum jadi berangkat ke masjid "Aku nggak jualan, ya ini berkatku. Siapa yang mendapatkannya berarti aku beruntung."

Kiranya Pak RT memang masih ingin bercanda, ditanggapinya lagi Mbah Lurah 

            "Ya enakan sampean no Mbah, pulang-pulang apemnya ditukar sama nasi." 

"Salah sendiri selamatan bawanya nasi."

"Ya itu umum Mbah, yang nggak umum itu yang berangkat selamatan hanya bawa apem saja."

"Ya gak papa yang pentingkan niatku bagus. Memohon ampun kepada masyarakat sekitar dengan membawa apem ini."

"Niat bagus kok diomong-omongkan, ya hangus." Lagi-lagi Pak Tri menyahut.

"Lebih baik apemku, satu tapi ditujukan benar-benar hanya untuk megengan. Mengingatkan diri untuk menahan dari segala rasa iri, dengki, dan merasa benar dari orang lain. Apa orang-orang memang benar melupakan makna dari tradisi ini,"

"memberantas sikap 'merasa benar' itu memang harus diupayakan. Mula dengan adanya megengan, kita seharusnya bersyukur telah diingatkan, didekatkan dengan bulan suci. Kiranya sombong itu memang perlu ditunjukkan, untuk orang-orang yang suka menyombongkan diri atas kelebihannya." 

Pak Tri diam. Pak RT dan Mbah Sunah saling melirik.

 "Mari kita berangkat bersama-sama, mohon maaf lahir dan batin." Ajak Mbah Lurah mendahului langkah menuju ke masjid.

 

#seriramadan2

 

 

Posting Komentar

0 Komentar