Keluarga Pak Mad (episode 1)

 


Selepas dari masjid, pak Mad, tukang cukur yang taat beribadah itu melepaskan punggung pada kursi kayu di emper rumahnya. Sambil melepas songkok hitamnya sisa kopi yang sudah dingin kembali ia seruput dengan penuh kenikmatan. Lagi-lagi pak Mad mendesah dengan pelan seperti ada hal serius yang sedang ia pikirkan.

"Mbok wes ndak usah pasang wajah susah to pak, kaya tiyang kurang nikmat ae" ucap Hartini yang muncul di ambang pintu dan duduk di samping pak Mad.

"La pie to bu, bapak ke sih kepikiran dawuhane pak Yadi bibar jama'ah iki mau lo"

"La masalah nopo pak, kayane serius nemen wae" 

"Duarius malah. La gimana bapak nggak risau, tadi bapak sama pak Cahyo minta bantuan sama pak Yadi supaya pak Yadi mau ngajari bapak-bapak baca al-quran kembali"

"Terus, responnya pak Yadi"

"Ya pak Yadinya mau, seneng malah"

"Laya seneng terus yang jadi masalah apa to pak" tambah Hartini dengan menggerakkan jari tangannya meraih gelas dan meminum sisa kopi pak Mad hingga tuntas.

"Padahal pak Yadi bukan warga asli desa sini lo buk, tapi mau diminta ngurusi segala hal yang berkaitan dengan agama. Sumbangsihnya banyak, coba kalo nggak ada pak Yadi, siapa yang bisa mimpin tahlil di acara pengajian, siapa yang bisa ngijabin orang mantenan, siapa yang sanggup mimpin talqin orang mati"

"Ealah pak, emang bener dalane Pengeran niku jembar. Jangankan imam masjid, yang mau azan di masjid saja kita nggak punya orang. Si Bejo, itukan ya bukan asli orang sini, tapi semangatnya untuk nguripi masjid itu besar sekali. Kan seneng dengernya kalo diputarkan murotal setiap manjing sholat"

"Pak Yadi sudah menyanggupi, terus njenengan sedih kenopo lagi pak"

"Bapak iku sedih denger nasihat dari pak Yadi buk, begini 'ya jangan belajar ngaji mawon pak Mad, harusnya tahlil dan do'a-do'a itu perlu dipelajari kembali, kalo saya sudah kapundut siapa yang mau nerusin di desa sini, gitu bu"

Bu Hartini tercengang

"Ibu kaget to"

"Wihhh, apa bapak sedih gara-gara kena mental" tanya Hartini sedikit menahan tawa. Pak Mad balas ngelirik istrinya dengan sedikit sinis.

"Ya iya to bu, bapakkan ya sekedar bisa pada umumnya, ndak jeru-jeru amat"

"Mulo sih pak, kan harusnya seneng kalo pak Yadi mintanya paket komplit, nggeh to. La bapak malah pasang muka masam ngoten niku, kecut kalo dilihat"

"Sik to bu, bapak itu masih kawatir kalo warga sini sulit diajak ngaji bareng-bareng. Yang ngisi masjid aja nggak penuh tiga shaf lo"

"Tiga shaf niku mpun alhamdulillah pak, apa ya kita punya kuasa untuk mendekte warga supaya imannya sempurna dan menganggap orang beribadah di masjid selalu dibilang baik. Kan ya nggak to pak. Menurut ibu bapak iku terlalu pesimis, meskipun warga sini agamanya grutal-gratul, ibadahnya setengah-setengah ya apa salahnya kita ajak dulu. Nggak harus banyak massa yang penting ada yang mau dan ajeg rak yo ditingali mpun sae nggehkan"

Pak Mad mengambil napas panjang dan kembali menyeruput kopinya, sedangkan Hartini dengan gelagapen ngacir begitu saja ke dalam rumah

" Loo bukkkk tekk ambless kopiku"

Posting Komentar

0 Komentar