Semakin
siang, memang tidak bisa dipungkiri kembali. Siklus musim memang sedang
berubah, matahari yang bergeser mengikuti arah jarum jam kian bergembira
menampakkan sinarnya, berbeda dengan raut wajah para pedagang pasar Kartasuro,
mereka dengan pasrah sedang menepikan diri di sisi pinggir tembok. Beberapa
kertas bekas mereka kumpulkan lalu mereka tumpuk jadi satu agar bisa dibuat
menjadi kipas, ayunan tangan yang mendatangkan angin sudah sangat luar biasa
senangnya buat mereka.
Kondisi
lingkungan pasar Kartasuro dapat dibilang bagus, dengan melihat hubungan
pedagang satu dengan pedagang lainya terlihat akrab bahkan mereka saling
membantu dan tidak ada rasa kecemburuan sosial tentang perdagangan. Begitulah
kehidupan nyata yang tengah dibentuk dipasar Kartasuro, kehidupan memang keras
jika kita memasuki area sebuah pasar dimana pasar itu identik dengan ragam
manusia yang berbeda-beda dapat di ambil hikmah jika hidup memang tidak mudah.
Pedagang sayur yang rata-rata menduduki barisan di pinggir jalan, pedagang ayam
potong yang rata-rata berada di bagian jalan keluar pasar dan pedagang baju
yang mayoritas mereka berada di dalam pasar Kartasuro, menambah keunikan
sendiri bagi pasar Kartasuro.
Dari
arah Utara suara sepeda motorku mengecil menepi dan kemudian berhenti di depan
penjual bumbu dapur. Aku menebarkan senyum kepada seorang pedagang paruh baya,
ibu itu menyambutku dengan senyuman tak kalah manisnya. Aku berdiri di dekat
rak berisikan mentimun sambil menyaksikan pedagang lainnya. Kebanyakan dari
mereka tengah duduk santai sambil menanti pelanggan, namun ada juga yang lelah
sambil menyandarkan tubuh pada tiang payung yang mereka pasang.
Esti,
ibu muda yang berprofesi sebagai pedagang bumbu di pasar Kartasuro, ia menekuni
pekerjaannya ini karena meneruskan usaha ibunya yang saat ini sudah menginjak
usia lansia. “ Ya karena ibu sudah tua,saya sebagai anaknya pastinya membantu.
Ibu sendiri juga sudah tua kasian kalo masih bekerja” tutur ibu muda ini.
Dengan
keringat yang mebasahi wajahnya, Esti masih saja membareskan dagangannya,
ditumpuknya satu persatu rak kosong di dekat pintu juga mengemasi barang-barag
yang lain untuk dimasukkan didalam. Ibu muda ini mulai berdagang pada petang
hari jam setenga tiga dan ditutupnya pada jam setengah satu siang, dan
begitulah rutinitas sehari-harinya.
Selama
menjalankan profesinya, Esti juga sering mengalami pasang surut. Seperti
akhir-akhir ini, dagangannya tampak sepi nggak seperti biasanya. Jika saja
dagangannya rame bahkan Esti sendiri tidak
bisa menghitung berapa keuntungan yang sedang ia dapatkan. “Nggak bisa
saya menghitung keuntungan dari jualan ini karena jika habis barangnya, uang
yang saya dapatkan itu langsung dibuat beli barang lagi, atau bahkan biasanya
uang jualan ini dibuat nutup keperluan rumah juga bayar sales juga yang
biasanya bayarnya langsung satu juta atau bayar yang tempo, tapi ya
Alhamdulillah begini sehari harinya, biasanya perhari itu dua juta atau bahkan
tiga juta bahkan lebih, tapi terus buat bayar-bayar itu jadinya nggak bisa
ngitung keuntungan ini” tutur wanita paruh baya itu dengan senyum sedikit di
bibirnya.
Esti
tidak memandang pekerjaan ini sangatlah berat baginya karena ia menjalinya
dengan sabar dan ikhlas dengan kondisi pasar yang saat ini sangat panas bahkan
lelah yang mulai menyambut, Esti masih sanggup menebar seyum kepada siapapun
yang ia kenal. Esti mengakui pekerjaan ini cukup rumit karena dengan banyaknya
dagangan dan bumbu-bumbu dapur membuat Esti sulit mengatur jadwal yang harus
didahulukan, tapi bagaimana lagi ia telah menekuni pekerjaan ini juga sudah
lama.
0 Komentar